Solois: Side-Job Terbaik Anak Band
Musisi seringkali dilanda kejenuhan, terutama bagi yang sudah berkarir lebih dari 2 tahun. Mereka yang tergabung dalam band biasanya harus mengeluarkan usaha ekstra keras untuk menyatukan lebih dari 2 pikiran untuk menjalankan visi dan misi yang mereka emban dalam bermusik. Terkadang ego pribadi harus dikesampingkan demi nama kelompok, selera musik pribadi juga tidak bisa dipaksakan begitu saja. Mengingat hambatan-hambatan tersebut, beberapa anggota band memutuskan untuk mengalihkan kreativitas personal mereka ke ranah baru yakni solois. Sudah tidak terhitung banyaknya anggota band di dunia yang memutuskan untuk bersolo karir. Beberapa menemukan kesuksesan yang bahkan lebih besar dari bandnya, tapi beberapa juga memang sengaja memanfaatkannya hanya sebagai hobi semata. The Display mengamati beberapa pentolan band di Indonesia akhir-akhir ini banyak menelurkan karya pribadi yang bisa dibilang musiknya jauh berbeda dengan band yang mereka usung. Ini nih beberapa daftar anak band dengan side-job mereka sebagai solois.
- Daniel Baskara Putra (Hindia) from .Feast
.Feast melejit dalam beberapa tahun terakhir dengan album “Multiverses” dan “Beberapa Orang Memaafkan”. Namun kesuksesan .Feast tidak membuat vokalisnya Daniel Baskara Putra terlena. Ia menyalurkan kreativitas lainnya dalam penulisan lagu lewat side projectnya yang dinamai Hindia. Sedikit berbeda dengan musik .Feast yang energik dan berlandaskan irama rock yang padat, Hindia banyak bermain dengan bebunyian lain seperti synth, tamborin, gitar akustik, hingga piano. Hasilnya adalah pendekatan yang lebih personal, lirik-lirik yang lebih lekat diresapi secara personal, hingga melodi pengantar tidur yang kontemplatif. Baskara Putra pun mulai menjajal panggung lewat proyek solonya ini dan melihat keluwesannya dalam beradaptasi dengan berbagai pengaruh musik bisa menjadikan proyek ini melibatkan lebih banyak kolaborator.
- Christianto Ario (Kurosuke) dari Anomalyst
Nama Anomalyst kemungkinan belum menjadi santapan sehari-hari penikmat musik alternatif, namun agaknya nama Kurosuke lebih sering terdengar di berbagai panggung pentas seni atau festival musik akhir-akhir ini. Pentolan di balik kedua unit musik ini sama yakni Christianto Ario Wibowo yang berperan sebagia vokalis dan gitaris di Anomalyst. Musik keduanya jauh berbeda, apabila Anomalyst merangkai musik yang layak dikategorikan sebagai alternative rock, maka Kurosuke bisa masuk dalam kategori indie pop yang mengingatkan kami pada Phum Viphurit, Plastic Plastic, atau sejenisnya. Ario seperti memiliki dua kepribadian berbeda dengan visualisasi yang bertolak belakang dengan dirinya di Anomalyst dan kedunya memiliki charm tersendiri. Kami rekomendasikan kamu menyimak album Anomalyst berjudul “Segara” atau “Cipta Rasa Karya” dan menikmati visualisasi Kurosuke terbaru di single “Little Joy”.
- Dandy Gilang (Linger) dari Much/Write The Future
Kami tidak tahu Dandy Gilang diberi nutrisi seperti apa waktu kecil hingga tumbuh menjadi musical genius seperti sekarang. Banyak proyek musiknya berjalan bersamaan dengan baik dan sama-sama produktif menghasilkan sesuatu. Berawal dari proyek band punk yang ia usung dengan keempat temannya di Write The Future, ia lalu membuat side-project dengan sang kekasih dengan aliran indie rock yang lebih manis. Kemudian seakan tidak puas menyalurkan bakatnya di Write The Future dan Much, pria asal Malang ini membuat proyek solo bernama Linger. Dua single berjudul “Congratulations, You’re Getting Old” dan “Condescending” menyajikan sentimentil pribadinya terhadap proses tumbuh dewasa lewat irama indie rock yang mudah dicerna dan sedikit berbeda dari musiknya di Much. Ia lebih menekankan pada Philly sound yang bisa kamu dengarkan juga di musik Modern Baseball atau karya Jeff Rosenstock.
- Indra Menus dari LKTDOV & Narcholocos
God of Noise, mungkin sebuah gelar yang tepat disematkan kepada sosok Indra Menus. Musisi asal Yogyakarta ini telah konsisten menunjukkan kecintaannya pada musik noise dengan berbagai acara, kolektif, tulisan, serta proyek musik yang ia rintis. LKTDOV di mana ia berperan sebagai vokalis membuat kami hanyut lewat melodi post-rock dan screamo yang ‘nggerus’. To Die menjadi awal Indra Menus mengangkat musik noise ke permukaan scene Yogyakarta. Sedangkan proyeknya di awal 2019 yakni Narcholocos membawa semangat punk lewat EP “la manifestación” yang mendapat banyak respon positif di Bandcamp. Baterai kreativitas Indra Menus tidak berhenti di situ, karena baru-baru ini ia mengenalkan proyek solonya bersama rapper asal Papua, Joe Million lewat album mini yang direkam secara live. Gabungan rap, hip-hop dan noise terasa sangat raw dan energi itu ditranslasikan dengan baik lewat chemistry keduanya. Kami penasaran apa rencana Indra Menus lewat proyek solonya di masa depan? Mash-up noise dan folk mungkin?
- Oneding dari SATCF
Kalau tadi Ario menunjukkan kepribadian yang bertolak belakang lewat dua proyek musiknya, Anomalyst dan Kurosuke, maka Oneding juga mempunyai kemampuan yang sama. SATCF adalah band pop punk legendaris asal kota Malang yang pada perjalannya, merekrut Oneding sebagai keyboardist. Di band tersebut tentu saja, pesona punk yang urakan dan fun selalu mewarnai tiap aksi panggung. Namun lewat proyek solonya sebagai Oneding, ia menunjukkan sisi personal yang tidak ada di SATCF. Oneding menciptakan lagu dengan lirik apa adanya yang menunjukkan sosoknya sebagai manusia biasa, kepala rumah tangga, hingga netizen yang selalu memperhatikan lingkungan sekitar. Tidak ada lagi jingkrak-jingkrak, berbekal gitar akustik dan sesekali ditemani cello, penampilan live Oneding siap menembus pori-pori hatimu. Simak lagu debutnya sebagai solois “Ciptaan Manusia Runtuh Ciptaan Tuhan Tumbuh” dan tembang terbaru penuh romansa, “Star”.
- Sabiella Maris dari Closure
Aksi hijrah dari anak band menjadi solois tidak hanya dilakukan oleh para pria, namun juga musisi wanita. Salah satunya adalah Sabiella Maris yang mengawali karir bermusiknya lewat band post-punk Closure. Menjadi gitaris di band ini, kami hanya sebatas menikmati genjrengannya atau sesekali suaranya sebagai backing vocal. Ia pun memutuskan membawa suara merdunya lewat proyek solo di tahun 2018 lewat EP berjudul “Untold Story”. Tembang-tembang seperti “Dope”, “Coffee”, hingga yang terbaru “Drop Someone A Line” memperlihatkan pengaruh musik Britpop hingga alternative rock.
- Puti Chitara dari Barasuara
Kemampuan bunglon alias adaptasi diri juga ditunjukkan Puti Chitara lewat proyek solonya dan posisinya sebagai vokalis di Barasuara. Barasuara dikenal sebagai musisi yang menunjukkan aksi panggung energik, termasuk Puti Chitara yang seringkali kami lihat melompat kesana kemari dan ikut mengajak penonton untuk mengikuti lirik demi lirik. Proyek solonya yang bahkan ia mulai terlebih dahulu sebelum bergabung dengan Barasuara memberikan kesempatan bagi ibu satu anak ini untuk menjadi sosok yang lebih kalem dan misterius. Musiknya bisa dibilang dark dan gloomy, lirik-liriknya baik Bahasa Indonesia ataupun Inggris memunculkan kesan tragis dan mencekam. Tengok saja gaya bermusiknya yang beda lewat lagu “Pendar”, “Sunyi”, atau “Ruang Baja”.
- Haikal Azizi (Bin Idris) dari Sigmun
Sigmun adalah band beraliran rock asal Bandung yang namanya mulai muncul di permukaan setelah merilis album “Crimson Eyes”. Haikal Azizi, sang frontman pun banyak mendapat perhatian lewat unit musiknya tersebut. Selepas merilis album tersebut, Haikal Azizi mengenalkan alter ego terbarusnya sebagai solois Bin Idris. Idris diambil dari nama sang ayah dan nama panggung tersebut merupakan penghormatan terhadapnya. Kalau Sigmun menyajikan musik yang menggebrak, maka Bin Idris menyuruh pendengarnya untuk rehat sejenak dari hingar bingar hidup dan melihat hal-hal yang seringkali luput kita perhatikan. Dalam album “Bin Idris” dan “Anjing Tua”, kita bisa melihat sisi lain dari Haikal Azizi yang tidak ia munculkan dalam proyek Sigmun. Bin Idris juga merilis beberapa tembang tahun ini yang bisa kamu simak berjudul “Mahabharata”.
- Jugo Djarot dari Circarama
Jugo Djarot lekat dengan dunia musik sejak kecil dikelilingi nama-nama seperti Boedi Djarot, Slamet Raharjo Djarot, dan Erros Djarot. Tentu saja keterlibatannya dalam grup Circarama, sebuah grup psychedelic rock di Jakarta sangat dimaklumi. Tumbuh besar dengan musik-musik yang bisa dibilang ‘berat’, ia jarang menikmati musik di luar pakem. Lewat proyek solonya ia berusaha memeperluas khasanah musik dengan memasukkan elemen-elemen mainstream yang lebih fun dan sesuai dengan masa sekarang. Tengok saja karyanya lewat lagu “Busana” dan “Dinner for Two”.
Melihat banyak anak band yang going solo, kira-kira kamu mau ngikuti jejak para musisi ini untuk menyalurkan bakat sebagai solois?