Closure Innocence AlbumReview: Closure Mendobrak Stereotip Post-Punk di Album “Innocence”

Sebuah Pembelajaran dari Trauma dan Berjalan Menuju Kedewasaan

‘Development hell’ (stagnansi atau kebuntuan dalam berproses) selama tiga tahun tentu merupakan sebuah perjalanan produksi album yang tidak bisa dianggap enteng. Apesnya, hal itu menimpa band post punk asal Malang yakni Closure yang hendak merampungkan album penuh mereka. Sudah barang tentu penampakan awal dan penampakan akhir menjadi berbeda karena banyak kendala tersebut, apalagi setelah data yang tidak bisa dipulihkan, Closure harus tracking ulang di studio AA bersama Sound Engineer Gege Praseta. Kini dengan penuh harap dan segala potensi sonik yang ada, album yang diberi judul “Innocence” meluncur untuk menebus penantian 3 tahun tersebut dan memperkenalkan kembali Closure ke pendengar musik di Indonesia, Asia bahkan dunia.

Album ini dibuka dengan dentuman bass dan kick dari lagu “Paradigm”, mencekam dan mengancam. Terdapat sedikit chord progression dari “Love Will Tear Us Apart” dari Joy Division jika Anda mendengarkannya dengan seksama, tapi semua terselimuti dengan atmosfir yang lebih mendekati “A Forest” milik The Cure. Driving bass, aksen synthesizer di layer-layer belakang memberi citarasa yang lebih kaya, seakan memasuki hutan gelap dalam keadaan hujan berpetir daripada hutan gelap yang sunyi. “Paradigm” mengetengahkan diskusi dua orang sahabat tentang makna pencarian Tuhan dan menyelamatkan yang masih belum tercerahkan, atau tentang menyelamatkan kawan dari sifat maha benar dan merendahkan kawan yang masih dianggap belum “lurus”. 

Lagu selanjutnya masih melanjutkan nuansa kelam, Closure membalut lagu “Cold Room” versi album dengan chorus dan reverb yang pekat seakan kita meringkuk dalam satu ruangan dingin yang lembab dengan baju yang basah. Lagu kedua ini sendiri menggambarkan bagaimana depresi membuat semua menjadi dingin dan bagaiman si penderita layaknya kehilangan daya hidup, sehingga menghadapi hari rasanya begitu berat.

“Resuscitated” menyambut kita sebagai lagu ketiga dengan lead solo yang menghantui sedari awal lagu. Sebuah testimoni tentang bagaimana susahnya keluar dari hubungan toxic yang kadang terbalut oleh nafsu semata dan rasa bersalah. Namun harapan untuk bebas itu masih besar demi hari esok yang lebih cerah.

Lagu keempat di album Innocence merupakan lagu lama yang telah beredar dalam bentuk video klip retro di Youtube. “Post-partum” sendiri bercerita tentang sindrom psikosis yang sering dialami ibu muda yang baru melahirkan yang tanpa support emosional suami di sampingnya. Sindrom ini bisa membahayakan anak karena terancam kekerasan verbal maupun fisik oleh ibunya sendiri. Disini peran ayah bukan hanya sebagai pemberi nafkah keluarga namun juga penopang emosional keluarga. Dengan lead yang ikonik dan ritme yang driving Post-partum” seringkali menjadi nomor pemantik dansa di berbagai gig yang pernah Closure jajal. Bayangkan ironisnya lagu suram tentang sindrom post-partum, bisa menjadi anthem dansa di mosh-pit

Paruh pertama album ini singgah di lagu ke-5 berjudul “Unbreakable Pleasure”, yang entah sebuah plesetan dari ‘Unknown Pleasure’ atau memang sebuah judul yang menyiratkan konteks yang dalam. Lagu ini lebih banyak bermain lead melodis dan untuk chord diserahkan sepenuhnya ke synthesizer. Bertemakan ansietas sosial yang memaksa seseorang menjadi kikuk dan susah berkomunikasi, nomor satu ini dibalut dengan outro melodi synthesizer yang anthemic dan hangat. Sepertinya lagu ini bisa menjadi modal ajakan berdansa bagi orang yang memang kikuk dan introvert.

Closure Innocence Album
Album artwork


Paruh kedua dimulai dengan lagu ke-6 yang pernah menjadi single split bersama band Strangeways bertajuk “Warehouse”. Tembang yang bercerita tentang keindahan masa kecil yang polos, suci dan ceria ini tidak banyak berubah, kecuali mastering dan mixing yang mempunyai reverb lebih tebal. Selain itu, ketukan drum yang lebih punchy, balutan synthesizer yang lebih terasa membuat “Warehouse” menjadi lebih megah.

Lagu ke-7 berjudul “Stray” dibuka dengan bassline dengan reverb dan chorus yang sangat tebal khas post-punk awal 80an. Uniknya, lagu ini menarasikan tentang kegilaan sesosok tetangga pada judi gaplek yang membuat keadaan ekonominya susah bernafas, bagaikan berada dalam ruang gas beracun. Tidak hanya bass nya yang menjadi highlight disini, synthesizer yang membalut lagu tidak lagi menjadi aksen semata tapi melengkapi melodi lead gitar yang menyetir lagu ini.

Berikutnya, di track ke-8 Closure menyajikan “Puberty” yang mempunyai nuansa lebih modern dengan aroma post-punk revival ala-ala 2000an awal yang dulu merajai chart radio remaja di New York bahkan dunia. Gitar lead dan gitar ritme disini didesain lebih distortif walaupun masih dalam balutan reverb. Alhasil, perpaduannya menjadikan lagu tentang dosa pertama saat pubertas ini lebih agresif dan terasa lebih punk daripada post-nya. Tidak terasa kepala hingga tubuh mulai ikut bergoyang ketika menikmati “Puberty” walaupun secara makna memiliki arti yang dalam.


“Pawn” yang hadir sebagai lagu kedua dari urutan akhir mengisahkan tentang seseorang yang terjerumus dalam pergaulan salah dan susah keluar dari kebiasaan kolektif yang negatif. Menjadi populer ternyata tidak membuat kita mempunyai kuasa atas hidup kita sendiri, terkadang kita bisa menjadi pihak yang dimanfaatkan demi kepentingan orang-orang yang mengaku teman. Tema sekompleks ini bahkan bisa dibalut dengan aransemen ala new wave optimis era pertengahan 80an semacam The Cure dan Psychedelic Furs.

Last but not least, lagu terakhir di nomor ke-10 “I’m A Traveling Man” merupakan anthem bagi para perantau yang merindukan kampung halaman namun masih menyisakan pahitnya kenangan cinta yang lama. Di sini para penggemar Peterpan, Noah dan The Chameleons bakal menemukan benang merah yang bisa membuat mereka semua singalong harmonis. Lagu yang menjadi video lirik di akun youtube Closure ini menjadi lebih megah dalam balutan synthesizer dan mixing mastering yang pantas dan rapi. Bahkan outro gitar surgawi di single terdahulu yakni “I’m A Traveling Man” di album ini menjadi nafas baru yang tidak bisa ditemukan di versi video dan live.

Closure Innocence Album

Itulah 10 lagu dari album “Innocence” yang dalam konsep globalnya menyentuh tentang perjalanan hidup manusia sejak masa kanak-kanak hingga beranjak dewasa dan menghadapi dunia nyata. Konsep ini dipengaruhi dengan teori psikoanalisis oleh Fairbairn dan Winnicott yang menganggap anak sebagai awalnya polos dan suci, namun dapat kehilangan kepolosannya di bawah pengaruh stres atau trauma psikologis. Closure merangkum secuil atau bahkan seluruh trauma psikologis tersebut ke dalam 10 nomor yang menurut kami patut diselami dan didengarkan secara khidmat. Namun dengan segala kemegahan dan kesempurnaan audio album debut Closure ini, Innocence juga tidak luput dari kekeliruan dan kelalaian. Beberapa kekeliruan dalam pelafalan kata-kata bahasa Inggris di dalam album ini bisa diperbaiki lagi ke depannya. Penulis rasa akan ada beberapa insan di luar sana, terutama yang sangat teliti tentang pengucapan serta grammar bahasa Inggris, yang merasa sedikit terganggu atas kekurangan di album Closure ini. 

Overall dari segi isi, berbagai variasi tema tersebut menunjukkan usaha Closure untuk lebih eksploratif menyentuh berbagai tema yang mengitari kehidupan manusia baik yang riang gembira maupun gelap. Untuk sisi audio sendiri, Innocence merupakan kemajuan yang jauh daripada versi sampler yang pernah beredar di tahun 2018 dengan nuansa cenderung dream pop semi surf pop. Album Innocence menyajikan simulasi nuansa retro pertengahan 80an yang dibalut tom yang diberi reverb yang biasa menjadi pemanis outro dan kentalnya balutan synthesizer menjadikan album satu ini banyak menyentuh berbagai sub genre post-punk seperti coldwave, new wave bahkan dream pop. Hal ini menjadikan Closure sebagai pendobrak stereotip band post-punk yang identik dengan muram dan mencekam menjadi lebih kaya di album Innocence ini dengan menyentuh berbagai sisi kehidupan manusia secara komprehensif.  Album “Innocence” telah dirilis oleh Haum Entertainment secara eksklusif digital di gerai The Store Front dan bisa kamu dapatkan hanya dengan Rp55.000 saja.

Penulis: Ahmad Alfan Rahadi/Editor: Novita Widia