
“Celestial Sorrow” Menghipnotis dengan Permainan Cahaya
JAKARTA – Komunitas Salihara secara konsisten menghadirkan pertunjukan seni kelas dunia bagi para pecinta seni di Indonesia dan beberapa hari lalu, kami berkesempatan untuk menyaksikan sebuah pertunjukan bertajuk “Celestial Sorrow” yang berkolaborasi dengan Goethe Institut. Seni tari kontemporer ini terinspirasi oleh fenomena yang mungkin juga jamak ditemukan dalam budaya Indonesia yakni kesurupan. Para penari digambarkan dalam keadaan dirasuki dan menarikan koreografi dari Meg Stuart (Jerman) dengan diiringi instalasi cahaya dari perupa Indonesia Jompet Kuswidananto. Karya kolaborasi “Celestial Sorrow” ini merupakan pesanan dari Walker Art Center (Minneapolis) yang didukung pula oleh Andrew W. Mellon Foundation dan William and Nadine McGuire Commissioning Fund
Berbeda dengan pertunjukan tari yang sudah-sudah, “Celestial Sorrow” mengomposisikan bangku penonton jadi 4 sisi dan panggung menjadi berada di tengah-tengah dengan lampu yang meriah. Lima belas menit pertama menjadi hal yang agak membosankan karena tiga penari asal Jerman hanya berputar di tempat dengan mata terpejam. Namun iringan musik dari Meiko Suzuki dan Ikbal Simamora Lubys serta permainan cahaya yang memesona mampu mengurangi rasa bosan tersebut. Tarian yang berdurasi lebih kurang 2 jam ini menunjukkan kolaborasi apik dari Jompet Kuswidananto dan Meg Stuart.

Berdasarkan ketertarikan mereka pada fenomena kerasukan dalam berbagai bentuk kesenian tradisional dan kisah-kisah yang telah menjadi trauma kolektif, mereka menciptakan dunia cahaya dan gerak yang hidup. Tarian dalam ‘dunia cahaya’ ini menjadi tarian yang interaktif terhadap penonton karena beberapa bagian tari melibatkan penonton sebagai penyempurnaan karya. Hal yang lebih menakjubkan muncul ketika para penari dan pemusik (yang notabene bukan orang Indonesia) fasih menyanyikan lagu “Hati yang Luka” milik Betharia Sonatha. Penonton yang awal senyum-senyum bingung akhirnya pun ikut menyanyikan lagu tersebut. Seni benar-benar menjadi pendobrak batas bahasa dan budaya yang membuat para penampil dan penonton lebur dalam satu irama. Bukan tidak mungkin keberhasilan kedua seniman ini akan membuka peluang bagi pelaku kreatif dari dua negara untuk menelurkan karya bersama di masa depan.
Reporter: Fransisca Hana/Editor: Novita Widia