Review: Menua Bersama The Adams dengan “Agterplaas”
Jika suatu waktu seseorang berniat menulis buku mengenai sejarah perkembangan musik independen lokal, nama The Adams sudah sepatutnya berada di sana. Bersama alumni BB’s Bar lainnya seperti The Upstairs, Seringai, The Brandals, Sore hingga Sajama Cut, mereka boleh dibilang menjadi pemicu bagi gelombang musik independen medio 2000-an hingga saat ini. Belum lagi bicara soal signifikansi rilisan; debut self-titled (2005) menghasilkan anthem sepanjang masa seperti “Konservatif” dan “Waiting”, sementara album kedua V2.05 (2007) mendapat tempat terhormat dalam daftar 150 Album Indonesia Terbaik oleh majalah Rolling Stone Indonesia.
Dengan status sebagai band terpujikan, sudah sepatutnya ekspektasi dilekatkan saat mendengar mereka mempersiapkan materi anyar. Dua tahun setelah kabar tersebut berhembus, single “Pelantur” dirilis sebagai kisi-kisi pertama pada April tahun lalu. Meski sekilas mengingatkan pada materi debut mereka, pemilihan sound jelas menjadi pembeda. Album self-titled bernuansa alternative/garage rock yang cenderung mentah, sementara V2.05 dibalut dengan sound vintage seiring pergeseran lebih jauh ke ranah power pop. Saat mendengarkan “Pelantur” kita disuguhi sound yang lebih modern, tegas dan bertenaga. Ditambah kematangan menyusun dinamika, harapan akan suguhan menyegarkan di album penuh semakin besar.
Tapi kejutan sebenarnya hadir saat “Masa-Masa” dirilis Februari lalu. Selain mengejutkan dari segi aransemen yang bernuansa 80-an (serupa Electric Light Orchestra atau The Alan Parsons Projects), lirik retrospektif yang lugas dan sederhana justru berhasil menjadikan “Masa-Masa” salah satu nomor The Adams yang paling emosional.Dua single tersebut memberikan alasan yang lebih dari cukup untuk menantikan sajian lengkapnya. Lalu momen itu akhirnya tiba: diberi judul “Agterplaas”, album ketiga The Adams resmi dirilis oleh Belakang Teras Records. Suguhan yang tersaji semakin istimewa dengan adanya boxset eksklusif yang dilepas sebelum album tersebut dirilis di gerai digital. Sebuah showcase peluncuran album pun terlaksana dengan meriah di awal bulan Maret lalu.
Agterplaas dibuka dengan nomor instrumental berjudul sama—mengingatkan pada “Pahlawan Lokal” yang membuka V2.05 dengan ceria dan penuh semangat. Lagu ini terdengar bak opening theme serial televisi dengan latar California yang cerah—tempat indah di mana semua orang hidup bahagia, berselancar dan berkendara di bawah cuaca hangat. Tapi bukan berarti Agterplaas dipenuhi fantasi seperti itu. Tengok bagaimana dulunya nuansa eskapis hadir dalam “Berwisata” di V2.05 (ganti California dengan Jakarta dan jadilah lagu dua sejoli dimabuk asmara berlatar lansekap kota) dan bandingkan dengan “Lingkar Luar” di Agterplaas yang menggambarkan realita mengenai keruwetan Jakarta. Pada akhir lagu, sang tokoh yang berkendara di tengah kemacetan bahkan memutuskan untuk menyerah (“Ganti saja di lain waktu//Pikiranku sudah terlalu jenuh”).“Agterplaas” jelas bukan album power pop tipikal yang melulu menampilkan sukacita, namun juga menyisipkan realitas yang familiar di kehidupan sehari-hari kita.
Pendewasaan tampak jika menilik lirik di Agterplaas. Waktu tiga belas tahun jelas memberikan personil The Adams lebih dari sekadar referensi bermusik yang semakin canggih: masing-masing kini menjalani fase berkeluarga. Hal ini sangat mungkin mempengaruhi cara pandang mereka akan banyak hal. Ada kesadaran bahwa kehidupan tak melulu indah, dan pilihan untuk menyuarakan ragam suasana hati membuat Agterplaas terdengar jujur dan berpotensi menyentuh orang banyak. Bandingkan “I Wanna Be With You” dari album sebelumnya yang terdengar begitu naif dengan “Esok”, track nomor lima di album ini: yang pertama berkisah mengenai keinginan insan dimabuk asmara untuk terus bersama, sedangkan yang setelahnya adalah semacam upaya meyakinkan diri sekaligus pengingat atas berbagai kompromi dan konsekuensi dalam menjalin hubungan. Meski berusaha optimis, terdengar kegamangan saat vokal Ario, Pandu dan Saleh perlahan-lahan memudar di akhir lagu.
Tapi bukankah selalu ada hal yang membuat hidup layak dijalani? “Sinar Jiwa” menyajikan sukacita yang dirasa saat buah hati hadir ke dunia dan membawa harapan serta kekuatan. Lantas, “Timur” meneruskan optimisme ini lewat chorus favorit semua orang (“Namun tiap kudengar namamu//Makin terbayang masa depanku//Semakin jelas tujuan dan yang ku harus lakukan”).
“Sendiri Sepi” yang diiringi alunan piano Ghina Salsabila mengingatkan pada komposisi terbaik Brian Wilson di usia senjanya, saat sang bocah pantai membuang jauh mimpi California dan merenung soal nestapa dan kesendirian. Sementara di balik aransemen ceria, “Gelap Malam” sesungguhnya berkisah tentang orang-orang yang terbuang dan terpinggirkan. “Dalam Doa”, nomor dengan harmoni vokal menggetarkan (di antara barisan lagu yang kesemuanya diwarnai harmoni vokal rancak) memberi jeda untuk menunduk dan mengingat orang-orang terkasih yang telah tiada.
Ragam suasana ini dibungkus dalam aransemen yang kaya. Mulai dari “Pelantur”, nomor rock yang menghentak dan cenderung straightforward hingga “Esok” yang mengawang,“Agterplaas” menjadi petunjukan kecakapan The Adams dalam menyusun komposisi dan menjadi rilisan mereka yang paling kompleks dan berwarna. Kerumitan harmoni vokal, ketukan ganjil yang tersebar di sana-sini bakal membuat siapapun berdecak. Puncaknya adalah “Pesona Persona”, track prog-rock berdurasi enam menit dengan solo gitar selevel Allan Holdsworth yang diisi oleh Turi Kaliandra dari unit prog Pendulum. Jangan lupakan juga peran Zul Mahmud menghadirkan berbagai efek suara yang menjadi elemen penting dalam membangun soundscape “Agterplaas” .
Namun bahkan dengan pertunjukan kecakapan permainan instrumen dan kompleksitas aransemen,“Agterplaas” adalah album pop yang nyaman didengarkan tanpa membuat dahi berkerut. The Adams agaknya memegang prinsip bahwa di luar perkara menantang diri sendiri secara musikal, menghadirkan album yang dapat menjangkau banyak orang adalah tujuan utama. Secara artistik, mereka adalah band yang terus melampaui pencapaian sebelumnya. Dan dengan kecenderungan untuk menciptakan karya yang semakin canggih dari waktu ke waktu, musik mereka justru terdengar semakin mudah dicerna.
Jika mengumpamakan katalog The Adams sebagai serangkaian fase hidup, album self-titled adalah masa muda yang penuh gairah, saat rutinitas pedekate ke rumah pacar menjadi hal utama; V2.05 adalah saat hubungan asmara sedang mekar-mekarnya dan masa depan tampak indah belaka; sedangkan“Agterplaas” adalah fase di mana kaki menapak realita, saat hidup berkisar di rutinitas dan serangkaian tanggung jawab menyergap. The Adams seolah mengingatkan bahwa di situ lah keindahan hidup yang sesungguhnya; saat getir dan manis datang bergantian. Lantas “Timur” yang memungkasi“Agterplaas” meninggalkan pesan kuat bahwa dibalik segala suka dan duka, selalu ada alasan yang membuat hidup kita layak diperjuangkan.
Penulis: Firli Yogiteten/Editor: Novita Widia