In Memoriam: Sekelumit Cerita di Balik Tutupnya Houtenhand
MALANG – Setiap kota di Indonesia pasti memiliki geliat musik tersendiri, tidak terkecuali Malang. Sebuah kota kecil yang dikelilingi pegunungan dan konon dahulu kala bersuhu dingin (sekarang lebih sering gerah). Layaknya tanaman, geliat musik yang ada tidak akan tumbuh dan berkembang tanpa adanya pupuk, tanah subur, ataupun pot yang menjadi mediumnya. Salah satu elemen penting yang kami ibaratkan sebagai pot adalah space terjadinya gigs-gigs paling seru dan salah satu tempat yang tidak pernah absen dari perhatian kami adalah Houtenhand. Bar yang terhimpit gedung-gedung tinggi kapitalis di pusat kota Malang ini seperti satu gedung aneh di antara barisan bangunan mentereng di sekelilingnya. Tidak ada plang ataupun billboard besar di bagian depan bar. Adanya pohon yang lumayan rimbun pun semakin menutupi keberadaan tempat yang memiliki 3 lantai ini. Namun hal tersebut sepertinya tidak menyurutkan gairah anak-anak muda kota ini untuk menonton aksi musisi kesayangan mereka atau sekedar menyesap bir dingin sembari menonton pertandingan bola di lantai bawah.
New York City punya CBGB yang legendaris, Jakarta bisa jadi punya Rossi Musik Fatmawati, Bandung punya Spasial atau Loubelle, dan Bali punya Twice Bar. Sudah sewajarnya kami menyandingkan Houtenhand dengan nama-nama tersebut karena memiliki esensi yang serupa. Menjadi kawah candradimuka bagi musisi baru, tempat reuni bagi musisi lawas yang jarang terdengar, dan guest house bagi tamu-tamu musisi dari luar kota. Bar di bilangan Kayutangan, Malang ini tidak pernah sekalipun keluar dari pakem yang telah mereka pegang teguh sejak berdiri, yakni menekankan semangat kolektif yang tinggi. Di tengah banyak venue menaksir biaya sewa tinggi dengan berbagai bualan untuk menarik sponsor yang mayoritas perusahaan rokok atau minuman beralkohol, Houtenhand malah memberikan ruang ramah kantong bagi para musisi. Ya, tentu saja masih ada tiket masuk bagi gigs yang ada. Toh, bar sudah sewajarnya menjual minuman dan mencari keuntungan.
Sudah tidak terhitung berapa banyak musisi yang pernah singgah di bar satu ini. Mulai dari White Shoes & The Couples Company yang mengadakan secret gigs, hingga band-band bergenre metalcore atau grindcore yang sedang melaksanakan ibadah tur di kota Malang. Unik memang kalau mengingat hampir semua genre musik pernah menggema dari Houtenhand. Mulai dari pop, folk, metal, noise, punk, experimental, techno, hingga rock. Mungkin cuma dangdut atau campursari saja yang belum pernah melaksanakan gigs di sini. Tidak afdol pula rasanya kalau belum pernah merasakan crowdsurf di lantai dua, hingga ujung jarimu bisa menyentuh langit-langitnya yang rendah. Sistem keluar masuk pun sering diterapkan di tiap gigs dan menjadi pemandangan biasa. Maklum, kapasitas Houtenhand cuma bisa menampung jiwa-jiwa nekat dan tahan panas. Rekan kami di Gemusik, Portal Musik Malang, atau Angsaruka mungkin lebih sering meliput dan hinggap di Houtenhand sembari memperhatikan tingkah polah manusia-manusia di dalamnya. Walaupun begitu, sentimen tempat ini toh tetap terkenang, bahkan bagi yang baru sekali datang.
Para pengunjung atau pelanggan Houtenhand sering menyebutnya sebagai balai desa. Kami awalnya heran dengan istilah ini, karena tidak ada kepala desa atau mimbar yang biasa ditemukan di tempat tersebut. Kalau dipikir-pikir lagi, sebutan ini sepertinya sangat tepat disematkan. Balai desa adalah tempat pertemuan warga desa. Warga desa tentu saja tidak hanya berisikan petani. Ada pedagang, peternak, nelayan, dan lain sebagainya. Kami analogikan mata pencaharian tersebut dengan latar belakang pengunjung di sini. Apapun latar belakang mereka, balai desa menyediakan tempat untuk bertemu, bercengkerama, bertukar sapa, atau bahkan berjualan karya. Selain bar, tempat gigs, pameran seni, dan screening film, Houtenhand juga menyediakan sebuah toko kecil di lantai 3 dengan Bapak Eko Marjani sebagai juru kuncinya. Di toko ini, kamu bisa menemukan berbagai CD, kaset, zine, hingga merchandise musisi, komunitas, atau gerakan-gerakan kolektif lain. Tidak jarang, suara sang juru kunci terdengar lewat siaran radio online di Koalisi Nada. “Tumplek blek” (re:tumpah ruah) adalah istilah tepat yang menggambarkan segala rupa mamalia berkaki dua yang berlalu lalang di sini. Banyak cerita aneh tercipta, mulai dari wanita-wanita edgy yang membuat terkesan, sampai tukang parkir yang mati suri karena oplosan.
Tepat di tanggal 28 Januari 2019, pendar lampu kekuningan yang senantiasa hangat mengundang, resmi redup selamanya. Houtenhand mengucapkan salam perpisahan dari sudut kecil di Kayutangan. Tidak perlu kami membahas alasan teknis kenapa bar ini harus ditutup di tempat kelahirannya. Riuh rendah tawa para pemudi pemuda sudah tidak bisa terdengar lagi di sini. Acara-acara sakral nan nyeleneh seperti perayaan ulang tahun Julian Casablancas, frontman dari The Strokes pun terpaksa harus dilakukan di tempat lain mulai tahun ini. Tidak ada lagi patungan-patungan kekeluargaan untuk membeli sebotol anggur merah atau arak polehan. Musisi dari kota tetangga pun tertular hawa kesedihan mendengar kabar ini. Ah, menuliskan artikel ini pun membawa kami kembali pada memori-memori indah saat band-band Malang mencicipi panggung pertama mereka. Bagaimana suara-suara sumbang, gitar yang tidak di-tune secara sempurna, atau lupa lirik di Houtenhand jadi sarana latihan mereka untuk panggung lebih besar. Tutupnya Houtenhand memang tidak selamanya, tapi tempat kelahirannya akan selalu membekas di ingatan. Semoga semangatnya tetap menyala dan siap sekali lagi bersuara di suatu sudut kota. See you in better spirit…
Penulis: Novita Widia/Dokumentasi: Instagram @houtenhand