
Eksklusifitas dan Batas Imajiner Tongkrongan Indie di Malang
Dalam hubungan bersosial dan bermasyarakat, gesekan atau perdebatan bisa dipastikan akan muncul apalagi jika suatu golongan merasa termarjinalkan dari golongan lain, sehingga menimbulkan fenomena eksklusi sosial. Dari ilmu sosiologi, eksklusi sosial ini bisa dilakukan atas keinginan komunitas itu sendiri ataupun dikarenakan keadaan yang memaksa. Apabila fenomena yang biasa diteliti adalah di tingkat wilayah, negara, atau kawasan, maka dalam artikel ini scope-nya akan jauh diperkecil yakni di sekitaran tongkrongan anak-anak ‘indie’ di Malang Raya. Beberapa waktu lalu, cuitan seorang kawan menyebutkan bahwa ia merasa terasing dan tidak disambut dengan baik di beberapa tempat yang menjadi basis tongkrongan anak-anak indie Malang. Permasalahan ini tentu saja bisa menimbulkan kesenjangan sosial, konflik berkepanjangan dan kemiskinan struktural*. Kami mencoba membedah apa saja yang menyebabkan eksklusifitas tempat nongkrong ini dari berbagai sisi, mulai dari segi ekonomi, filsafat, dan sosial.
Pertama-tama, tongkrongan yang disebutkan yakni Kalampoki, Hondje, dan Ha8itat adalah usaha milik pelaku musik independen atau setidaknya mereka yang berada di lingkaran tersebut, di mana mereka menyadari secara penuh bahwa musik tidak bisa memberi mereka makan. Diamati dari segi ekonomi, mereka menyadari daya beli sejawat mereka yang mayoritas adalah milenial misquen sangat terbatas, jadi tentu saja harga minuman dan makanan tergolong murah. Murahnya makanan dan minuman ini menyebabkan tempat dan produk mereka diserbu oleh kawan sejawat. Ingat, bahwa tentu saja pasar terdekat dan paling menjanjikan adalah teman. Bisa dimaklumi mengapa tempat-tempat tersebut lantas dijadikan basis berkumpul para musisi-musisi indie yang terkadang untuk main di suatu gigs hanya dibayar dengan nasi kotak dan senyuman manis panitia. Belum ditambah lagi, kemungkinan ngebon alias hutang yang lebih tinggi bisa dilakukan di tempat usaha ‘teman’. Suatu privilege yang tidak mungkin dirasakan oleh orang asing yang baru 1 – 2x datang ke tempat tersebut.

Kedua, dari sisi filsafat ada yang disebut dengan relativisme di mana suatu kebenaran atau kesalahan sebenarnya kembali bergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya. Sang kawan ini berpendapat bahwa ia tidak disambut ramah di tempat-tempat tongkrongan tersebut, bahkan dipandang rendah oleh sesama tamu yang juga nongkrong di tempat sama. Hal ini karena bisa dibilang ia bukan orang dalam, tentu saja menganggap semua tindak tanduk mereka yang berada di dalam circle sebagai sesuatu yang asing atau bahkan salah. Dilihat dari sisi dalam circle, apakah etis tersenyum* dan SKSD (sok kenal sok dekat) dengan orang asing yang notabene belum kenal sama sekali. Belum lagi sang kawan tidak tahu bahwa si sesama tamu ini bisa jadi sedang mengalami hari yang buruk. Relativisme bisa menjadi jembatan perdebatan sengit ini karena memberikan pandangan bahwa kesadaran manusia unik dan tidak bisa disalahkan apabila terjadi gesekan.
Ketiga, dari segi sosial ada istilah ‘tak kenal maka tak sayang’ yang kemungkinan mendasari keelitisan beberapa tempat tersebut. Bisa jadi pula, terdapat batas imajiner yang cuma ada di pikiran seseorang yang malah menyebabkan pengucilan lebih jauh lagi. Tidak mendapat senyum dari sesama tamu? Ya mungkin karena belum kenal saja. Apakah kamu sudah berusaha menyapa duluan atau mengawali pembicaraan? Apabila jawabannya belum, ya sudah, mungkin cara dari salah satu dedengkot indie Malang yakni Alfan Rahadi bisa dipraktekan. Diawali dari stalking sosial media, mungkin kamu akan mendapat gambaran individu-individu yang dianggap angkuh dan tidak ramah tersebut. Apabila di lain waktu bertemu beberapa oknum tersebut di tongkrongan tadi, bisa diajak ngobrol dulu. Lalu, kalau kamu sudah menyapa, bertanya-tanya hingga beramah tamah tapi masih ditanggapi dingin bagaimana? Tongkrongan dan tempat ngopi di Malang Raya tidak sedikit, selalu akan ada kedai kopi baru yang buka di tiap bulannya yang siap menjadi basis tongkronganmu dan kawan-kawan.
Dari ketiga perspektif ini, eksklusifitas dari suatu tempat tongkrongan secara sadar maupun tidak sadar memang bisa terjadi dan bagi mereka yang melihat dari luar, tentu saja menjadi pengalaman yang tidak mengenakkan. Siapa juga sih mau terasing di keramaian di saat yang mereka butuhkan adalah perhatian, kasih sayang, validasi, dan pengakuan*. Kalau keempat hal ini bukan hal utama yang kamu cari saat nongkrong, tentu saja masalah ‘teralienasi’ tidak akan terjadi. Namun beda hal jika keempatnya menjadi faktor utama yang dicari saat ngopi. Mengutip pendapat seorang kawan yang tidak mau disebutkan namanya, kalau tujuannya cuman ngopi atau sekedar mengonsumsi minuman atau makanan, toh sama-sama bayar jadi kenapa dipermasalahkan?

Sebagai konsumen, kamu memiliki hak penuh untuk menempatkan uangmu di manapun dengan imbalan produk dan jasa yang sesuai dengan standarmu sendiri. Kalau tidak cocok, ganti, beri masukan sekedarnya pada pengelola untuk mereka meningkatkan kualitas pelayanannya. Masalah perlakuan sesama tamu 100% adalah di luar kendali pengelola, jadi tidak etis untuk melabelkan pengalaman buruk pada usaha tertentu. Kami yakin para pemilik akan senang sekali diberi masukan atau kritik yang membangun demi kelancaran usahanya. Mencari sensasi dan afirmasi dari sosial media untuk mengumpulkan alien-alien yang merasakan hal yang sama bukanlah solusi, apalagi hingga mencapai tahap witch-hunt di mana ranah personal sang pemilik usaha diserang untuk pembenaran. Komunikasi dan pemahanan lebih jauh dibutuhkan untuk saling mengerti satu sama lain, kami usulkan adanya sesi ngopi enjoy bersama semua orang agar tiada lagi istilah alien atau eksklusif.
* = sarcasm intended
Dokumentasi: Hondje, Ha8itat, dan Kalampoki House