Review: Kekecewaan itu Bernama “Star Wars: The Rise of Skywalker”
Franchise (waralaba) Star Wars tidak lekang dimakan waktu. Di bawah asuhan Disney, waralaba ini semakin berkembang dengan berbagai film spin-off dan serial TV. Para penggemar seakan dimanjakan oleh berbagai narasi, perspektif, serta tokoh yang terlibat dalam perang antar jagat yang dibangun oleh George Lucas tersebut. Setelah membangkitkan kembali animo Star Wars lewat “Star Wars: The Force Awakens” dan “Star Wars: The Last Jedi”, tahun ini kembali dihiasi oleh kisah petualangan lanjutan Leia Organa, Rey, Kylo Ren, Finn, dan kawan-kawan lewat “Star Wars: The Rise of Skywalker”. Tidak banyak yang kami harapkan di seri ketiga arahan J.J. Abrams ini mengingat “Star Wars: The Last Jedi” sudah menghadirkan cukup banyak kejutan dan pertemuan mengharukan dengan tokoh-tokoh di masa lampau. Namun apa yang sutradara Rian Johnson tutupi dengan berbagai candaan ringan dan pergolakan batin dalam diri tokoh kunci di film sebelumnya, gagal disampaikan (atau dilanjutkan) oleh J.J. Abrams di seri terbaru.
Penonton dihadapkan pada perjuangan Rey (Daisy Ridley) yang tengah berlatih menjadi Jedi. Di sisi lain, Kylo Ren (Adam Driver) tumbuh semakin kuat dengan dukungan kaum Sith yang secara ajaib muncul kembali ke permukaan. Tidak adanya latar belakang konkrit yang mengantarkan penonton pada premis ini cukup kami sayangkan. Dibandingkan dengan tokoh antagonis di seri terakhir yakni Snoke yang mampu memberikan kejutan dan perlawanan sengit, tokoh antagonis di “Star Wars: The Rise of Skywalker” hanya muncul sebagai pemanis. Plot dari awal hingga akhir cerita berlangsung datar tanpa adanya kejutan berarti atau sub-plot yang seru seperti cerita dari Rose yang ada pada seri sebelumnya. Para penggemar yang sudah setengah mati ingin tahu kelanjutan nasib tokoh utama di serial ini harus siap-siap kecewa dengan akhir yang mudah ditebak dan adegan yang membuat kami mengernyitkan dahi. Planet-planet baru yang dikunjungi oleh tokoh protagonis juga muncul sekilas dan tidak terlalu memberikan anekdot menarik dari galaksi tersebut. Selingan jokes segar yang hadir lewat gestur tubuh ataupun dialog jenaka, juga tidak banyak bertebaran di sepanjang film. Alhasil, ekspresi sepanjang film lebih banyak dihiasi senyum simpul.
Kekurangan yang sungguh disayangkan dari trilogi baru Star Wars ini sedikit terobati dengan teknologi CGI super mutakhir yang menghidupkan kembali sosok Leia Organa yang dibintangi mendiang Carrie Fisher. Seperti yang kita ketahui, sang aktris meninggal di tahun 2016 sebelum bisa merampungkan keterlibatannya dalam waralaba ini. Teknik CGI yang halus, dibantu dengan pemilihan aktris dengan perawakan yang mirip dengan sang aktris membuat tokoh Jenderal dari Resistance ini seakan tidak pernah mati. Kali ini sosok Babu Frik membuat kami gemas dan menambah satu lagi tokoh favorit dari jagat raya Star Wars. Meskipun plot yang mampu dieksplorasi dari Star Wars seakan sudah sampai pada titik jenuh, kami yakin film-film di masa mendatang (serta berbagai cerita spin-off) akan tetap laku dengan penggemar antar generasi yang semakin bertambah. “Star Wars: The Rise of Skywalker” sudah diputar di berbagai jaringan bioskop Indonesia mulai tanggal 18 Desember 2019.