Merayakan Ketiadaan Bersama NothingMerayakan Ketiadaan Bersama Nothing di Jakarta

Ditulis oleh: Tomo Hartono untuk The Display

“Outside the door
The worlds alive
I’ll stay and hide on the other side”

JAKARTA (11/9) – Nukilan lirik di atas diambil dari lagu “Somersault” dari Nothing, band yang sempat menyelamatkan hidup saya beberapa kali. Rasanya, saya perlu berterima kasih secara pribadi pada grup shoegaze asal Philadelphia ini. Tidak banyak grup yang berani begitu telanjang dalam membahas depresi, kecemasan, kekerasan, serta pergulatan dengan alkohol dan obat-obatan–topik-topik yang jarang dibahas dengan gamblang oleh banyak orang. Mungkin itulah kenapa buat saya konser Nothing ini menjadi sebuah pengalaman katartik yang menentramkan.

Konser yang diadakan pada hari Jumat, 11 Oktober 2019 itu adalah kali kedua Nothing menyambangi Jakarta setelah mereka menyelesaikan pertunjukan di Bali, Surabaya, dan Yogyakarta. Sebelumnya, mereka juga pernah bermain di Jakarta pada tahun 2017 sebagai bagian dari rangkaian tur mereka di Asia Tenggara. Konser ini digelar oleh Noisewhore, kolektif independen asal Jakarta yang konsisten menggelar acara-acara intim dan menyenangkan sejak 2016. Gelaran yang diadakan di Rossi Musik ini juga turut didukung oleh Ordo Nocturno, label baru asal Jakarta yang juga turut mengajak dua roster-nya, Blood Pact dan Sociomess, untuk meramaikan konser ini sebagai penampil pembuka.

Sociomess membuka acara ini dengan dentuman post-punk berbalur tendensi eksperimental yang kuat. Walaupun masih terdengar sedikit kedodoran di sana-sini, tapi penampilan Sociomess cukup spektakuler dan bingar, apalagi mengingat bahwa ini adalah panggung perdana mereka.

Grup asal Bandung ini digawangi oleh Egi pada departemen vokal. Saya mengenal Egi sebagai salah satupersonil dari Fuzzy, I, grup post-hardcore yang belum lama ini baru saja merilis maxi-single yang cukup mencengangkan di bawah naungan 630 Recordings. Siapa sangka, ia masih menyimpan energi kreatif yang cukup besar untuk mengerjakan proyek semenarik ini?

Gelaran disambung dengan penampilan dari roster lain Ordo Nocturno: Blood Pact, grup post-punk asal Singapura yang nampaknya tak bisa lepas dari penggunaan efek chorus di setiap lagunya. Mereka bermain dengan apik dan rapi, namun dibandingkan dengan kedua penampil lainnya, buat saya Blood Pact agak terlalu aman. Tidak terlalu banyak variasi pada lagu-lagu mereka. Hampir setiap lagu diiringi oleh permainan gitar jangly yang terlalu mengingatkan saya pada permainan Johnny Marr di The Smiths.

Selesai penampilan dari kedua aksi pembuka, penonton mulai merangsek ke depan. Beberapa terlihat sedang mencari posisi terbaik untuk crowdsurf. Tidak lama, Nothing naik ke atas panggung dan menyambut penonton dengan “Fever Queen” dari album “Tired of Tomorrow”.

Ada hal menarik dari formasi Nothing malam itu. Brandon Setta dan Nick Bassett absen dari panggung dan sebagai gantinya, Nicky Palermo dan Kyle Kimball dibantu oleh Doyle Martin pada gitar dan Aaron Heard pada bass. Kenapa bisa dibilang menarik? Doyle Martin adalah personil dari Cloakroom, band shoegaze yang cukup sohor dengan sound-nya yang berat. Sedangkan Aaron Heard sebelumnya sudah terkenal dengan agresinya sebagai vokalis dari Jesus Piece, grup hardcore punk dengan pengaruh sludge metal yang pekat. Formasi ini menarik buat saya karena malam itu, mereka bagaikan sebuah supergroup.

Malam itu, Nothing bermain dengan sangat kencang. Bila dibandingkan dengan penampilan mereka sebelumnya di tahun 2017, aksi mereka kemarin jauh lebih mumpuni. Separasi antar instrumen terdengar rapi dan walau basah diguyur reverb, vokal dari Nicky dan Doyle tetap terdengar jelas di antara bisingnya suara gitar dan hentakan drums. Nampaknya, kita harus melayangkan tepuk tangan yang semarak pada Haryo Widhi, sound engineer yang menangani keseluruhan konser kemarin. Tidak mudah meramu suara dengan begitu rapi untuk grup seperti Nothing yang banyak bergantung pada efek reverb, delay, dan eksperimentasi tekstur.

Bagaimana dengan para penontonnya? Dibandingkan dua tahun lalu, kerumunan malam itu tidak sesesak konser Nothing dua tahun lalu. Moshpit dan Crowdsurfing yang terjadi juga tidak seliar dua tahun lalu, entah karena antusiasme penonton yang tidak terlalu tinggi atau karena AC yang terlalu dingin.

Namun, saat Nothing menggeber intro dari “Vertigo Flowers”, penonton meluber hingga ke atas panggung sehingga menyebabkan gangguan teknis yang membuat lagu harus diulang. Buat sebagian orang, mungkin hal seperti itu dapat dicatat sebagai aspek negatif, namun saya selalu berpikir, momen-momen pupusnya batas antara penonton dan penampil seperti itu yang membuat sebuah konser menjadi menarik.

Tak lama, Nothing turun panggung untuk beristirahat sembari diiringi sahut-sahutan penonton yang meminta mereka kembali naik ke panggung. Kadang saya tak habis pikir, sejak kapan ya, fenomena pseudo-encore ini menjadi rutinitas panggung? Namun rasanya, pertanyaan itu baiknya disimpan untuk pikiran-pikiran di lain hari karena para personil Nothing sudah kembali berada di atas panggung. Mereka membawakan “Chloroform”, “Bent Nail”, dan “Eaten by Worms” sebagai encore.

Di akhir lagu “Eaten by Worms”, Nicky turun dari panggung untuk bergabung dengan penonton sembari diiringi pekik feedback dan guyuran osilasi dari gitar. Saya melihat beberapa teman yang sudah setengah sadar dihajar oplosan merapat pada Nicky untuk mengangkatnya. Di tengah lautan penonton, Nicky pun mengajak penonton mengulang-ulang beberapa baris terakhir dari lagu tersebut,Merayakan Ketiadaan Bersama Nothing

“It’s unavoidable
But you know”

Saya merasa, mungkin dunia sedang pekak dilahap bencana dari berbagai sisi dan tak ada yang benar-benar bisa kita lakukan untuk mencegahnya, namun menyaksikan Nothing membawakan lagu tersebut langsung di hadapan mata saya membuat saya berpikir, kalau apapun yang terjadi, kami akan baik-baik saja.

Editor: Novita Widia/Dokumentasi: Ignas B.C. (@ignxsbc)