Review Film Ave MaryamReview: “Ave Maryam”, Sebuah Pengalaman Sinematik dan Orgasme Visual

“Ave Maryam” sejak tahun lalu telah menarik perhatian kami dengan perilisan trailernya. Memasangkan Maudy Koesnaedi dan Chicco Jerikho sebagai tokoh utamanya, sulit membayangkan hubungan yang akan tercipta antar dua aktor berbeda generasi tersebut di sebuah skenario. Ertanto Robby Soediskam, seorang sutradara muda menghadirkan pengalaman sinematik, visual, dengan sedikit sentuhan spiritualisme lewat cerita yang hadir di “Ave Maryam”. Film ini menceritakan seorang biarawati Katolik bernama Suster Maryam (Maudy Koesnaedi) yang tinggal dan mengabdi di sebuah rumah asuh biarawati senior di Semarang. Kehidupannya yang sederhana dan cenderung datar, sehari-harinya hanya diwarnai oleh ibadah, merawat para biarawati tua, atau memelihara lingkungan kesusteran tempat ia tinggal. Kehadiran seorang biarawati senior bersama Suster Monic (Tutie Kirana) yang memutuskan kembali ke kesusteran Semarang membawa kejutan bagi Maryam. Suster Monic datang bersama Pastur muda bernama Romo Yosef (Chicco Jerikho). Terikat dalam sumpah setia pada gereja untuk mengabdikan diri sepenuhanya sebagai utusan Tuhan, hati Maryam bergejolak ketika dihadapkan dengan sosok Romo Yosef yang membuat hari-harinya lebih dinamis.Review Film Ave Maryam

Premis cerita ini sebenarnya sungguh sederhana dan tidak mengandung banyak konflik yang kasat mata. Konflik terbesar justru hadir di dalam diri Maryam dan Yosef yang masing-masing telah mengetahui konsekuensi perasaan terlarang mereka. Mengambil latar belakang paroki, kesusteran, kampung di Semarang, hingga hutan dan pantai, penonton tak henti-hentinya dihujani orgasme visual yang dihadirkan Ertanto Robby Soediskam lewat tiap bingkainya. Kami mengagumi kekayaan detail yang dimasukkan ke dalam tiap adegan yang banyak ditangkap lewat gambar-gambar geometris. Angle-angle yang dipilih di tiap adanya suatu adegan mengingatkan kami pada gaya penyutradaraan Wes Anderson atau Paweł Pawlikowski yang memang menyukai sentuhan simetris saat merekam adegan visual. Sentuhan artistik di film ini juga membuat kami berdecak kagum. Bangunan-bangunan Semarang bergaya Eropa dengan sentuhan art-deco hingga lanskap kota di pesisir utara Jawa tersebut ditampilkan dengan visualisasi yang tegas sekaligus hangat. Detail minor seperti perubahan warna kostum Maryam yang semakin berwarna ketika menjalani hubungan dengan Yosef pun tak luput dari perhatian kami dan membuat kekaguman kami pada tim produksi di balik “Ave Maryam” semakin tinggi.

Review Film Ave Maryam
Romo Yosef (Chicco Jerikho) dan Romo Martin (Joko Anwar) Sumber: @jokoanwar on Twitter

“Ave Maryam” tidak banyak menyentuh soal agama atau Tuhan, justru manusia lah yang dijadikan titik berat dalam film ini tentang bagaimana perasaan, tindakan, dan persepsi selalu memiliki konsekuensi. Dialog-dialog dalam film ini sangat minim, sebaliknya, gestur, raut wajah, dan gerak tubuh-lah yang dijadikan senjata utama untuk menyampaikan pesan-pesan. Tidak semua penonton akan memahami atau mencerna secara langsung adegan-adegan yang ditampilkan, namun justru interpretasi yang berbeda-beda tersebut yang membuat film ini seru untuk dibahas setelah usai. Didampingi musik-musik retro dan beberapa nomor reliji yang terselip di adegan film, “Ave Maryam” sebenarnya bisa mengeksplorasi sisi ini lebih jauh. Kami juga menyayangkan sensor dari Lembaga Sensor Film Indonesia yang memotong adegan yang menjadi klimaks di film ini. Terlepas dari itu, “Ave Maryam”  adalah sebuah sajian teatrikal dalam bentuk film yang tidak boleh kamu lewatkan. Film rilisan Summerland Films ini sedang tayang di berbagai bioskop di seluruh penjuru tanah air!

Penulis: Novita Widia