
LaLaLa Fest 2019: Konsep Megah dengan Eksekusi Payah
BANDUNG (23/2) – LaLaLa Fest adalah salah satu festival musik tahunan yang kami nantikan. Mulai dari line-up musisi dari aliran sidestream hingga rising star yang cukup menjanjikan. Salah satu daya tarik dari festival ini adalah venuenya yang terletak di hutan pinus Orchid Forest, Cikole, Lembang, Bandung. Di tahun 2018, kami sangat menikmati semua sajian di gelaran ini. Penampilan Oh Wonder mampu menghipnotis para pengunjung yang berdempetan sembari mencari kehangatan di tengah udara dingin. Tentu saja karena eksekusi yang baik tahun lalu membuat ekspektasi kami melonjak di tahun ini.
Membawa jajaran line-up yang cukup mentereng mulai dari HONNE, The Internet, Crush, Jeremy Passion, Sheila on 7, dan masih banyak lagi, festival ini menjanjikan pengalaman yang tidak terlupakan. Ya, benar, tanggal 23 Februari 2019 tersebut memang benar-benar tidak terlupakan saking tidak nyamannya para pengunjung menikmati hajatan yang diprakarsai oleh THE Group tersebut. Kemacetan yang sudah berawal dari daerah Dago Atas menuju Lembang seperti sudah tidak bisa terhindari. Kemacetan ini seakan sulit terurai karena volume kendaraan yang membeludak.

Beberapa penonton yang sudah membeli tiket early bird bahkan tidak sampai tepat waktu, meskipun panitia memaklumi hal ini. Kemacetan bukan satu-satunya problematika yang timbul. Kendaraan shuttle yang harusnya membuat festivalgoers makin nyaman, justru tidak berfungsi dengan baik. Selain ikut terjebak macet, kendaraan shuttle ini sepertinya juga tidak dikoordinasikan dengan baik. Beberapa pengunjung di titik-titik parkir yang telah disediakan nampak bingung bagaimana cara menuju Orchid Forest yang medannya tidak ramah pada anak perkotaan.
Keanehan yang super absurd lainnya adalah jarak antara drop point dan pintu masuk festival cukup jauh, sekitar 2km dengan jalur menanjak yang menyakitkan untuk ditempuh oleh kakak-kakak hits yang mengenakan high heels atau boots kekinian. Shuttle bus yang tersedia di titik ini pun tak efektif untuk mengantar-jemput para penonton karena tidak sebanding dengan jumlah manusia yang ada. Beberapa orang yang memilih jalan kaki terpaksa mandi keringat dan merelakan dandanan on-point mereka sedikit terusak.

Ketidaknyamanan lain terletak pada minimnya penerangan pada signage di area venue, jumlah tempat sampah yang sangat sedikit, miskoordinasi antar panitia, serta jarak tennant dan panggung yang cukup jauh. Ditambah dengan para pengunjung yang kurang berinisiatif dalam mencari toilet (ada toilet super sepi dekat musholla yang memang tidak terpetakan di venue map), LaLaLa Fest 2019 menjelma jadi Fyre Festival versi Indonesia.
Penampilan prima dari Crush, Sheila on 7, HONNE, The Internet di panggung LaLaLa seakan terkubur oleh pengalaman buruk penonton yang sudah terlanjur lelah sebelum bisa bersenang-senang. Stage Navajo dan Ombre mampu menawarkan musik alternatif bagi musisi yang sedang atau akan naik daun seperti Ardhito Pramono, Gentle Bones, Jeremy Passion, Diskoria, Pomo, Svmmerdose, dan masih banyak lagi.

Guyuran hujan deras sebelum dan di tengah acara juga jadi salah satu faktor alam yang mungkin berada di luar kontrol panitia, namun berbeda dengan panitia Laneway Fest yang sigap menyediakan kardus atau papan kayu agar pengunjung tidak terpeleset, panitia serta volunteer LaLaLa Fest 2019 seakan tak acuh. Belum selesai sampai di situ, karena untuk pulang saja, kondisi lalu lintas, keruwetan shuttle bus (lagi), serta panitia yang kurang tanggap seperti menambah kesan buruk bagi festival yang sudah menginjak gelaran ketiganya ini. Kami menyesalkan konsep megah yang telah dibangun sejak jauh-jauh hari oleh THE Group harus tereksekusi dengan payah seperti ini.
Kalau saja nantinya festival ini diadakan kembali, semoga saja mereka tidak meremehkan faktor-faktor kecil seperti kenyamanan penonton karena festival musik besar tidak hanya menumpang reputasi pada guest star yang pernah ditampilkan, namun juga dibangun dari faktor kepuasan pengunjung yang justru akan menambah lama usia si festival. Penataan ulang layout festival juga sepertinya butuh dilakukan agar tidak terjadi ketidaknyamanan di kemudian hari.

Dokumentasi: Novita Widia