Didi Kempot, Sosok Emo Indonesia Sesungguhnya
Berbicara tentang musik emo, penikmat musik kebanyakan pasti langsung mengingat band semacam American Football, My Chemical Romance, Mock Orange, atau eleventwelfth. Namun lewat artikel ini, kami ingin mengajukan sesosok musisi yang seharusnya menjadi ikon emo nasional yakni Didi Kempot. Musisi asal Surakarta, Jawa Tengah ini dikenal sebagai penyanyi campursari dan seringkali melantunkan lagunya dalam bahasa Jawa. Apabila musik ’emo’ seringkali didefinisikan sebagai turunan dari musik rock yang melodik dan ekspresif dalam lirik, di sini kami mengartikan segala hal yang emo adalah lirik, melodi, dan penyampaian yang bikin hatimu terenyuh. Momen ‘eureka’ yang mengantarkan kami pada kesimpulan ini adalah saat mendengarkan lagu “Banyu Langit”. Lirik di dalamnya mengingatkan pada mantan kekasih yang sosoknya telah hilang. Penantiannya akan sosok sang kekasih yang tak kunjung kembali tidak hanya diekspresikan dalam lirik lagu “Banyu Langit”. “Sewu Kuto” lagi-lagi menjadi bukti penantian dan pencarian Didi Kempot yang bahkan tidak sempat mengucapkan kata berpisah pada kekasihnya 🙁
Tema serupa juga muncul di lagu “Terminal Tirtonadi” di mana ia ditinggalkan sang kekasih yang berjanji akan kembali. Hingga musim hujan berganti kemarau pun, sang kekasih seakan hilang di tengah kepulan asap tebal dari knalpot bis di terminal tersebut. Tidak kalah menyakitkan, lirik lagu “Tanjung Mas Ninggal Janji” menyiratkan seseorang yang telah pergi hingga satu tahun lamanya. Didi Kempot pun tidak bisa melakukan apa-apa, selain melakukan napak tilas ke tempat terakhir mereka bertemu dan menyanyikan lagu sendu. Selain tema ditinggalkan sang kekasih, Didi Kempot serta kawan-kawan musisi yang membantunya menulis lagu juga seringkali memasukkan tema rindu. Di lagu “Eling Kowe” yang secara eksplisit diartikan sebagai ‘ingat kamu’ dalam Bahasa Indonesia mengemukakan kerinduan pada si dia yang tampaknya sudah berganti nomor telepon.
Lagu “Layang Kangen” memutarbalikkan posisi Didi Kempot sebagai orang yang kali ini harus pergi meninggalkan sang kekasih. Meskipun begitu, ia tidak serta merta tidak memberi kabar karena sang kekasih mengiriminya surat tanda kangen. Belum emo kalau belum mengakui bahwa kamu masih cinta pada mantan. Tentu saja Didi Kempot punya lagu seperti ini yang diberi judul “Isih Tresno”. Meskipun irama lagunya upbeat dan dikategorikan sebagai dangdut koplo, liriknya bisa membuat siapa saja prihatin.
Koyo wong adus sing wis lali andhuke
Teles kebes tak usap tanganku dewe
Tresno sing tulus pungkasane dadi ngene
Kebangeten ning aku kudu kepiye
Menganalogikan perasaannya sebagai orang mandi yang lupa membawa handuk, Didi Kempot yang sudah terlanjur sayang pada seorang wanita malah seperti tidak dianggap T.T
Tidak jarang wanita-wanita yang menjadi sosok inspirasi penulisan lagu musisi yang merupakan saudara kandung dari Almarhum komedian Srimulat – Mamiek Prakoso ini ingkar janji. Di salah satu lagunya yang paling populer yakni “Parangtritis”, ia mengatakan bahwa semua janji-janji sang wanita hanya sekedar bualan dan omong kosong. Lagu “Cidro” juga mengangkat tema ingkar janji yang kami yakin pernah dialami hampir semua manusia di dunia. “Ilang Tresnane” malah mengisahkan mantan yang menikah dengan orang lain setelah 5 tahun pacaran. Dari 283 lagu dari Didi Kempot yang bisa kami akses musik dan liriknya di internet, baik yang ciptaannya sendiri maupun dinyanyikan ulang, hampir separuhnya yakni sekitar 140 lagu memuat tema kesedihan. Mungkin kalau semua lirik-lirik di dalamnya menjadi kenyataan, Didi Kempot adalah pria yang paling sering dicampakkan, ditinggalkan, dilupakan, diselingkuhi, dan miskin lagi. Selain tema romansa, kesedihan yang ia ekslporasi lebih jauh adalah kondisi finansial dan sosial yang tidak memungkinkan untuknya bahagia.
Familiar dengan perasaan atau pengalaman ini? Ya, sepertinya pria berambut gondrong ini memahami perasaan tersakiti yang membuatnya sungguh emosional. Untung saja ada musik sebagai medium untuk mencurahkannya, maka dari itu resmilah ia kami nobatkan sebagai sosok ikon emo sesungguhnya di Indonesia yang mampu mengeksploitasi kesedihan dalam balutan campursari. Stay sad, fellas.