Open Column: Hondjé, Nenek Sihir Peracik Teh di Kota DinginHondjé: Kisah Nenek Sihir Peracik Teh di Kota Dingin

MALANG – Calzoum Kundera, begitulah cara perempuan itu memperkenalkan diri. Ia memang bukan keturunan presiden puisi, Bapak Sutardji, namun perilakunya tak jauh berbeda – sinting dan tak masuk akal. Hondjé seperti hadir di tengah naiknya kultur minum kopi sebagai sebuah antitesis. Kultur minum kopi tengah merajalela di belantika bisnis F&B Indonesia, namun tempat yang satu ini punya idealisme untuk mengangkat teh sebagai hidangan utama, atau lebih tepatnya satu-satunya. Dengan konsep yang ngawur, Kundera hanya mematok harga 10 ribu rupiah dan membuat pendatang bisa minum sepuasnya. “Sebenernya ini upaya mengganti ubi dan semangka, dulu pelanggan diberi pengganjal perut untuk menemani minum teh, namun karena buah-buahan ga selalu ada, ya mereka dikasih refill aja”. Ia memang tidak membawa spirit kapitalis.

Saya ingat sekali waktu pertama kali datang ke tempat yang tampilannya seperti rumah teman semasa kecil ini. Ada batas suci di pintu masuknya yang berarti kita wajib melepas alas kaki, kemudian pengunjung yang notabene orang-orang asing saling menyapa dan berjabat tangan. Aneh sekali. Di dalamnya pun hanya terdapat sebuah sofa malas dan karpet bergaya hippies, tempat ini sekiranya hanya muat untuk 6 orang. Saya yang kebingungan setengah mati bertanya, “Mbak, ini tempat apa sih?” dan jawaban yang saya terima-pun sungguh memuaskan, “Rental PS, Mas”. Pola komunikasi serampangan dengan kata ganti mas-mbak itu adalah hil mustahal yang tidak akan terjadi di Malang.

Open Column: Hondjé, Nenek Sihir Peracik Teh di Kota Dingin
Suasana malam hari di Hondjé

Orang-orang yang tidak saling mengenal biasa minum teh di sini sembari bercengkrama dengan random. Di Hondjé juga terdapat buku yang bisa dibarter, dua buku favorit di tempat ini adalah “The Book of Questions” karya Lala Bohang dan “Kesatria Cahaya” dari Paulo Coelho. Apabila beruntung, pengunjung juga bisa bersua dengan beberapa artis dalam scene indie di Malang (PS: mereka biasa nongkrong di Hondjé). Empunya tempat ini adalah sahabat dari Patricia, personel dari band FolkaPolka yang tengah aktif bersolo karir dan juga Lupik yang katanya sound-engineer nomor wahid di seantero kota*. Dari dua orang itu, kemudian tempat mungil ini kian meramai. Rupanya Kundera memang memiliki daya tarik, terlepas dari teh yang ia racik.
*klaim yang sangat memungkinkan untuk dibantah.

Saya terus berpikir, apa spesialnya tempat ini? Hal sinting macam teh yang diludahi genderuwo tak ubahnya menghantui pikiran saya. Berdiri di penghujung bulan September 2018, Hondjé sendiri adalah sebuah nama hasil adopsi dari Bahasa Belanda yang berarti anak anjing. Usut punya usut, ternyata Hondjé juga digunakan orang Sunda untuk menyebutkan Bunga Kecombrang. Kundera bilang dulu awalnya nama yang ia gunakan adalah Le Petite Tea, nama yang didapat dari novel Prancis Le Petite Prince, setelah itu ganti lagi menjadi Alur, karena proses membuat teh menyerupai alur, hingga dapatlah nama Hondjé yang terlintas secara tiba-tiba—dan terdengar lebih catchy. Kedai ini pun juga tidak jadi dalam semalam, sebab perempuan kelahiran Sidoarjo ini sempat berjualan teh di gerobak pinggir jalan dalam beberapa bulan sebelum akhirnya dapat menetap di sudut kecil yang terletak di Jalan Kusuma Wijaya.

Open Column: Hondjé, Nenek Sihir Peracik Teh di Kota Dingin
Berbagai pilihan daun teh di Hondjé

Kundera adalah alumni Legipait, sebuah kedai kopi ternama milik Nova Ruth, aktivis sekaligus musisi hip-hop yang menjalin karya dengan Filastine. Di sana, Kundera berkenalan dengan Sepatu Terbang, salah satu brand teh yang jarang orang dengar. Ia juga menegaskan kalau anti produk Lipton yang monoton, ia lebih suka racikan teh ala warung yang semuanya serba organik. Ketertarikannya yang mendalam pada teh lokal itu yang lantas membawanya terbang ke Kemuning hingga Bali untuk mendapatkan daun teh terbaik. Terlepas dari semua itu, ternyata ia pribadi sama sekali tak bisa membuat kopi, “Dulu waktu di Legipait kalau ada yang pesan kopi, aku selalu minta temenku buat ngebantu, gatau ya… Adukan kopiku ga nikmat”.

Hal yang dilakukan Hondjé sedikit banyak serupa saat Jacques Derrida memberikan kuliah di depan ratusan professor di Eropa, sejak detik itu, musnah sudah pemikiran strukturalisme, diciptakanlah wilayah abu-abu di antara hitam dan putih, didekonstruksi isi kepala para cendekiawan barat untuk kemudian diamini bahwa kebenaran itu tak absolut. Lagi-lagi hal yang sama juga ditularkan Sutardji yang merombak jagat sastra Indonesia. Puisi yang ia ciptakan nyeleneh dan semena-mena. Bak merapal mantra ala La Noche De Las Palabras, hal itu pula yang dilakukan Kundera di cangkir-cangkir teh hingga rasanya menjadi tak masuk akal. Langkah kecil yang dilakukan Hondjé adalah mendekonstruksi lidah dan perut kawula muda, mereka yang tiap malam sampai dini hari dicekoki kopi pahit di café khas Amerika diubah menjadi ritual afternoon tea ala orang Inggris.

Penggemar Of Monster and Men ini kerapkali nge-blend minumannya dengan beragam tumbuh-tumbuhan. Sebut saja chamomile, lavender, sampai buah-buahan seperti pisang dan semangka. Eksperimennya mendapat dukungan melalui latar belakang studi teknologi pangan yang ia peroleh 2 tahun silam, kala itu ia memang membahas teh untuk bahan skripsinya. Parameter kenikmatan suatu teh di Hondjé tak bisa diukur, mengingat kata ‘nikmat’ sendiri sangatlah subjektif. Kundera mempersilakan tiap pengunjung untuk mencium teh kering yang ia taruh di dalam toples-toples kecil. Ada yang suka teh beraroma wangi, ada suka teh yang rasanya pekat, ada yang suka teh berwarna bening. Semua tergantung selera. Sayangnya, campuran racikan teh dan buah belum disediakan di Hondjé, sebab proses pengeringannya memang butuh waktu serta biaya yang lebih. Namun Kundera tetap gigih dalam menyajikan “Teh jang baik untuk kehidupan”, begitulah bunyi motto hidup yang ia tuangkan di bio sosmed kedai miliknya.

Singkatnya, Hondjé adalah kedai teh pemalu nan berbahaya. Pun tak ada yang tau identitas Kundera sebenarnya, saat tengah wawancara dengan saya ia bilang, “Rahasiakan identitasku, pakai nama samaran dan fotoku jangan disebar, aku biasa dipanggil “Ibu Burung”.” Barangkali ia memang keturunan nenek sihir, karena sekali saja bersua dengannya lidahmu bakal disulap menjadi kafir dari dunia perkopian.

Dokumentasi: Hondjé

Price Range: IDR10K

Service: Wi-Fi – Smoking/Non-Smoking Spot

Location: Jl. Wijaya Kusuma No.5, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65141

Operational Hour: 13.00 PM – 22.00 PM

Instagram: @hondje.id

_________________________________________

Profil Kolumnis

Open Column: Hondjé, Nenek Sihir Peracik Teh di Kota Dingin

 

 

 

Mochammad Jibril adalah pegiat scene urban. Ia tengah menulis penelitian interdisipliner berlatar sosiologi dan sastra distopia. Temukan dia di Malang, tempat ia tinggal saat ini atau dunia maya lewat Twitter dan Instagram di @billymj_