Refleksi Musisi Daerah: Kita Terkenal, Lalu Mau Dibawa Ke Mana?
Tidak saya sangka sepenggal lirik lagu dari band pop melayu, Armada, akan menjadi judul dari artikel ini. Namun frasa tersebut saya rasa tepat untuk menggambarkan situasi yang seringkali dialami oleh band-band daerah dari luar Jabodetabek atau kota-kota besar lainnya. Topik ini muncul ketika sesi ngopi-ngopi santai yang berawal dari obrolan ringan, hingga akhirnya merambah pada satu bahasan yang agak serius. Musisi daerah seringkali dihadapkan pada suatu titik yang bisa menentukan mati hidupnya sebuah organisme musik. Band-band yang membangun following, fanbase, serta popularitas di kampung halaman memang gaungnya terdengar sangat kuat di suatu daerah itu. Namun ketika ditarik kembali di ranah nasional, apakah modal jago kandang ini cukup untuk menentukan longevity atau usia dari musisi tersebut?
Frekuensi manggung yang begitu sering di kota sendiri terkadang membuat terlena suatu band. Karena begitu nyaman telah diterima oleh pasar terdekat, lalu mau dibawa ke mana proyek ini? Go national? Misi ini tidak mudah ditembus oleh sembarang musisi. Tidak dipungkiri industri musik negeri ini masih bersifat kedaerahan. Seperti yang jurnalis musik favorit saya, Samack, ungkapkan, terkadang susah bagi mereka di kota besar untuk menemukan dan menerima band dari daerah lain. Salah satu band indie rock asal Malang yang debut di tahun 2017 pun menemukan fakta bahwa pasar ibukota tidak seperti yang mereka bayangkan, meskipun notabene band satu ini kerap merajai panggung di kota mereka berasal. “Kalo urusan main di Malang, memang sudah lumayan sering. Tapi habis itu mau ke mana? Sewaktu vokalis kami balik dari Jakarta terus sharing sama tim, dia belajar bahwa ternyata menembus pasar nasional tidak semudah itu. Kita harus menyamakan visi band dan mempunyai tenaga dan kesiapan mental untuk benar-benar terjun di pasar tersebut,” ungkap keyboardist dari band yang identitasnya tidak mau diungkapkan.
Meninggalkan zona nyaman dan harus memulai dari 0 lagi di kota orang jadi salah satu opsi yang bisa ditempuh. Namun, sekali lagi, tidak ada jaminan sukses seperti yang akan kamu dapat di kotamu. Vox, band di mana Gabriel Mayo dulu bernaung sempat tenar di Surabaya sebelum memutuskan hijrah di Jakarta. Tidak disangka meskipun telah mendapatkan kesempatan di sana, band ini lama-lama redup dan pada akhirnya ditinggalkan personelnya masing-masing. Band Pijar asal Medan pun juga menempuh cara yang sama, keluarga, pendidikan, pekerjaan yang dengan nyaman mereka terima di kota asal dilepaskan untuk menembus pasar nasional. Saat ini Pijar masih bergelut di ranah musik side-stream Jakarta, dan terakhir kali kami temui band ini dalam salah satu rangkaian turnya di Malang, masih ada semangat untuk mengejar apapun yang ingin mereka kejar di Jakarta.
Salah satu kendala yang dialami oleh musisi daerah ketika mereka hanya besar di kota sendiri ialah, susahnya meningkatkan daya jual. Karena masih berada dalam satu daerah, banyak panitia atau event organizer yang menganggap bahwa mereka bisa ‘dibeli’ murah. Tanpa memikirkan sepak terjang, jumlah karya, ataupun exposure yang telah didapat seorang musisi, kan masih ada di sini-sini saja bukan? Pada tahap ini musisi juga dipusingkan antara urusan mengisi perut dan idealisme. Di satu sisi mereka tetap butuh uang, di sisi lain menurunkan harga sendiri bisa jadi bumerang untuk brand mereka. Menerima gig dengan rate rendah namun intensitas tinggi menciptakan dampak negatif lainnya. Padatnya jadwal manggung membuat seniman susah menemukan waktu luang untuk berkarya, yang berujung pada tidak adanya materi baru yang dihasilkan. Bisa diprediksi bahwa pasar akan cepat jenuh dan lagi-lagi musisi harus menelan pil pahit. Layaknya ‘big fish in a small pond’, terkadang ikan-ikan kecil lainnya merasa sesak karena mereka pun juga butuh makan.
Untuk mengatasi hal ini band pop punk/melodic core asal malang yakni SATCF mempunyai jurus yang bisa dibilang nekat namun cukup ampuh. Neding, keyboardist dari SATCF mengungkapkan, “Ya kalau dari kami, mau menembus pasar nasional harus berani. Ambil sebanyak-banyaknya job di ibukota, biarpun dibayar rendah. Di sini yang kami lakukan adalah menambah jam terbang, dengan banyak main di Jakarta, kami jadi punya nilai jual tersendiri. Efeknya, nanti panitia di daerah bakal mempertimbangkan ini dan mengikuti rate kita yang telah ditetapkan di Jakarta.” Dengan frontman yang sekarang menetap di Jakarta, yakni Adit, SATCF seakan ‘buka cabang’ ke kota lain. Akarnya tetap di Malang, namun band punya ujung tombak di kota lain yang bisa jadi daya tawar cukup efektif.
Sedangkan Pijar mempunyai tips dan trik lain untuk menembus pasar nasional yang sangat kompetitif. “Pijar pertama ke Jakarta sudah punya beberapa list gigs dan orang-orang yang harus kita temui. Dari situ, kita bergerilya untuk memperkenalkan Pijar dari mulut ke mulut. Hahaha… Setelah itu udah mulai ada temen di Jakarta, baru tawaran main di gigs datang. Jadi bener-bener kita bangun pelan-pelan,” ungkap Aul, drummer dari Pijar tentang pengalaman pertama mereka hijrah ke ibukota. Ia melanjutkan bahwa keputusan pindah tidaklah mudah, jadi rencana matang memang harus disusun sebagai bentuk keseriusan dalam berkarir di dunia musik nasional. Selain itu, Pijar juga menerapkan cara yang sama dengan SATCF yakni mengambil hampir semua tawaran main saat mereka pertama berdomisili di Jakarta. “Kita cuman mau ngenalin musik kita, attitude kita dan image kita seperti apa,” lanjut Aul. Prestasi teranyar band ini adalah kembali masuk menjadi line-up We The Fest 2018 setelah menjadi pemenang Band Showdown di festival yang sama pada tahun 2016.
Telah ada beberapa contoh sukses yang telah saya tunjukkan, dan ribuan contoh gagal yang mungkin terlalu kelam untuk dibahas dan diingat-ingat saat para musisi berusaha mengejar fame and fortune of the music industry. So, now the table has turned to you. Layaknya lagu hits dari The Clash, pertanyaannya sekarang adalah “Should I stay or should I go?”. Pastikan kamu mempunyai channel dan link yang tepat, musikalitas yang mumpuni, dan semangat yang dua bahkan lima kali lipat lebih besar saat menentukan untuk go national, because at the end of the day, sometimes trial and errors is necessary. Berilah dukungan musisi daerahmu juga, karena meskipun kecil seperti mereferensikan musik mereka ke temanmu di kota lain bisa jadi berdampak besar.
Writer: Novita Widia