Fletch: Antara Musik, Kuliah, dan Masa Depan
Fletch adalah sebuah band folk yang terbentuk di Malang yang terdiri dari Richard (vokal,gitar), Rido (keyboard, vokal), Danti (ukulele), Rifqi (drum), Amanda (biola), dan Naufalia (bass). Semua anggotanya adalah anak perantauan yang tengah menempuh pendidikan di Kota Malang. Terbentuk di tahun 2015, Fletch menemukan arahan musik yang mereka inginkan ketika merilis lagu “Tiga Pagi”. Proyek yang sedang hibernasi tersebut akhirnya hidup kembali dan sambutan yang mereka dapat di luar ekspektasi. Lagu “Tiga Pagi” berhasil mengumpulkan ratusan ribu stream di Spotify dan masuk ke dalam playlist Indinesia yang dikurasi oleh tim Spotify Indonesia. Dirilisnya “Sadajiwa” tahun lalu semakin memantapkan langkahnya dalam industri musik independen Indonesia, khususnya Malang. Sebagai salah satu musisi yang masuk dalam daftar “Musician To Watch Out in 2018” oleh The Display, Fletch membuktikannya dengan menjadi salah satu band yang lolos untuk tampil dalam gelaran 8th Music Gallery. Kami berkesempatan untuk ngobrol-ngobrol singkat dengan beberapa anggota Fletch untuk membicarakan karir musik mereka, perkuliahan, serta masa depan.
The Display (TDP) : Sore, Fletch, bisa nggak nih diceratakan tentang proyek kalian dan awal mula terbentukanya Fletch itu kapan?
Danti (D) : Fletch itu merupakan band asal Malang, walaupun orang-orangnya nggak ada yang dari Malang malah. Tapi terbentuknya di Malang dari pertengahan tahun 2015 terus sempat vakum dari pertengahan 2016 sampai akhir. Baru produktif lagi di tahun 2017, mulai aktif lagi sampai sekarang ini.
TDP : Kenapa sempat vakum di tahun tersebut?
D : Karena kita bingung, jadi dulu kita itu cuman ada tiga orang. Aku, Danti di ukulele, Richard di vokal, gitar dan Ridho di keyboard. Awalnya cuma bertiga dan itu bener-bener band yang pop banget gitu.
Richard (R) : Ya kita cuman mainin lagu-lagu coveran orang. Jadi nggak jelas arahnya ke mana.
D : Cuman punya satu lagu original yang masuk di album kompilasi homeband FISIP UB, tapi sisanya ya nggak jelas. Sampai pada akhirnya sibuk di urusan masing-masing dan vakum. Pada perjalanannya akhirnya ketemu Manda di biola, Rifqi di drum, dan Vio. Vio keluar kemudian digantikan Naufal di bass. Setelah itu kita baru sepakat untuk membuat sebuah karya dari genre, goals, hingga akhirnya album “Konotasi” dapat dirampungkan.
TDP : Apakah basic kalian semuanya dari musik?
Fletch (F) : Ya mostly dari Homeband FISIP, tapi musiknya standar-standar aja, hahahahaha.
TDP : Kalian berekspektasi nggak sih bahwa feedbacknya bakal sebesar ini dan bisa rilis album “Konotasi”?
F : Nggak nyangka sama sekali. Tidak terbayang bakal sebesar ini. Alhamdulillah responnya positif, jadi kita semangat untuk menghasilkan karya setelah “Konotasi” nanti.
TDP : Kenapa kalian memilih judul “Konotasi”, apa ada filosofi tersendiri?
R : Karena lagu-lagu di album “Konotasi ini lirik-liriknya punya arti sendiri, artinya bukan arti sebenarnya dan multi tafsir. Jadi kami membebaskan pendengar untuk mengartikan arti dari lagu-lagu di sini.
TDP : Dari kalian berenam siapa yang biasanya mengarang lagu atau menulis lirik di album ini?
R : Kalau lirik biasanya Danti dan Manda, kalau musik aku sama Rido.
TDP : Lirik-liriknya sendiri berarti apa?
D : Isinya merangkum perasaan manusia di berbagai situasi, tapi ya balik lagi tergantung interpretasi pendengar. Kalau dari kami, dari 9 lagu yang ada diharapkan bisa mewakili perasaan kalian. Beberapa juga dapet dari pengalaman pribadi, terus aku oper ke Richard untuk diolah di segi musiknya. Prosesnya kira-kira setahun lah untuk menerjemahkan dan membuat musiknya.
TDP : Dari 9 lagu di album “Konotasi”, kalian kan punya preferrence masing-masing, bisa disebutkan nggak mana yang jadi favorit kalian?
R : Kalau aku sih “Angin Hujan” karena komposisinya menurutku penuh, nggak banyak part kosong dan liriknya bagus. Aransemen dan liriknya Rido, aku yang melengkapi sih.
D : “Tiga Pagi” sih karena lagu andalan, selalu dimainin di akhir dan aku yang nulis liriknya sih. Intinya tentang senam batin dan berisikan tumpahan air mata serta tawa.
Manda (M) : Kalau aku pribadi paling seneng “Darling, Can We?” karena waktu dibawakan live bagus banget. Part biolanya juga paling bagus di sini. Itu dari musik sih, kalau dari segi lirik “Angin Hujan”.
Naufalia (N) : “Maybe”, karena musiknya di awal sangat kelam tapi di akhir dinamikanya naik dan dapet. Dari yang kelam jadi makin kelam, hahaha.
TDP : Banyak musisi folk bermunculan di Indonesia, terus gimana cara kalian membedakan musik dan band kalian dari band-band sejenis terutama di Malang?
R : Dari segi instrumen sih beda, cara menggubah dinamika lagu juga. Kalau di Malang kan kebanyakan nggak drastis dinamikanya, bisa dari pelan ke kencang atau sebaliknya.
TDP : Dari skena independen Malang, Fletch pengen kolaborasi sama siapa sih?
F : Kita pengennya I’m Sorry, I’m Lost (ISIL) atau Wake Up Iris!. Kalau Wake Up Iris! sendiri karena mereka dengan alat sederhana, bisa bikin para pendengar dan penonton terpukau. Sama ISIL juga itu sih kayaknya seru.
TDP : Nah kalian sendiri angkatan berapa sih kuliahnya?
F: Kebanyakan angkatan 2013, ada satu yang 2015.
TDP : Bentar lagi lulus dong? Gimana nih mengatasinya, notabene kalian semua kan perantau, bakal dilanjutin nggak proyek Fletch ini?
F : Wah ini pertanyaan sulit ya, hahahaha. Richard sama Rido sendiri udah lulus, gimana ya…..
D : Ya karena kami dari awal sudah diberi ijin untuk merantau, sebisa mungkin kami setelah lulus tetap stay di Malang untuk tetap berkarya. Kayak aku misalnya, udah selesai tapi masih boleh di sini buat ngeband.
TDP : Apa orang tua nggak ngasih batas waktu untuk kalian sebelum balik? Gimana mempertanggungjawabkan karya kalian?
D : Plan sementara sih sembari nunggu yang lain pada kelar kuliahnya, cari kerja sementara di daerah deket-deket sini, Malang atau Surabaya. Setelah itu mungkin plan kita akan pada hijrah ke Jakarta semuanya. Aku sendiri sih dapet tenggat waktu mungkin sampai pertengahan tahun 2018, masih bisa biaya aku tanggung sendiri untuk tinggal di Malang. Untuk setelahnya masih dipikirin lagi sih, karena Fletch akhir-akhir ini rejeki juga Alhamdulillah ada terus. Semoga jadi lancar sih, dan jadi penghasilan sampai jadi hobi yang menghasilkan duit.
M : Kita mempertanggungjawabkan musiknya pelan-pelan sih, toh nggak ada ikatan juga. Jadi dijalani pelan-pelan.
R: Kalau aku sendiri sih pengennya habis lulus hijrah ke Jakarta. Untuk persaingan yang lebih ketat juga di sana.
TDP : Tips atau pesan-pesan kalian buat band-band lain yang merantau juga?
R : Kalau dari kita sih, buat anak-anak musisi Malang, jangat takut buat berkarya karena rejeki nggak ada yang tahu.
D : Pengennya untuk skena sih saling support satu sama lain. Biar bisa besar bareng-bareng jadi bisa nunjukkin ke kota-kota besar lain seperti Jakarta atau Bandung bahwa Malang juga punya talent-talent yang bagus.
N : Jangan dipikirin obstaclenya dulu, nanti juga pasti ketemu jalan keluarnya.
M : Dicoba dulu sih, jangan takut, selama pakai hati dan niat. Untuk skena Malang tetap saling support, nggak usah ada kubu-kubuan.
TDP : Quick question untuk kalian nih, tapi jawabnya cepet ya….Lebih bagus Fletch atau Marigold?
F : Hahahhaahhaa, aduh jangan dong itu temen sendiri. Maryfletch! Fletchgold! Ican, Ipal, Dila, Melody maaf kita nggak bisa milih karena ini temen seperjuangan sebenernya, hahahaha.
TDP : Fletch atau Wake Up Iris?
F : Wake Up Iris!
Interviewer & Pic : Hanif Ardhika/Editor: Novita Widia