Oscar Lolang InterviewInterview: Tenggelam Dalam Dunia Oscar Lolang

Penyanyi folk, Oscar Lolang, banyak mencuri perhatian ketika lagunya “Eastern Man” diluncurkan ke publik. Albumnya “Drowning In A Shallow Water” semakin memantapkan karirnya dalam industri musik dalam negeri. Sedikit kita tahu, bahwa musisi satu ini sebenarnya baru menekuni musik secara profesional hanya dua tahun belakangan. Dibesarkan di dunia seni dan kreatif, Oscar Lolang banyak mendapat pengaruh dalam bermusik dari musisi folk yang ia dengar. Timbre suaranya yang khas, lirik yang lugas dan sederhana mengantarkan Oscar sebagai salah satu musisi folk yang paling diminati saat ini. Di penghujung tahun 2017, The Display berkesempatan menculik Oscar Lolang dalam agendanya berjalan-jalan di Kota Malang dan mengungkap beberapa fakta menarik seperti impiannya untuk berkolaborasi dengan beberapa wanita berbakat di dunia musik Indonesia, serta cita-cita awalnya untuk menekuni perfilman. Mari bersama-sama kita tenggelam ke dalam dunia Oscar Lolang dalam wawancara berikut.

The Display (TDP) : Selamat malam Oscar

Oscar Lolang (O): Wilujeng wengi, eh sugeng dalu….

TDP: Mumpung lagi main-main di Malang nih, bisa ceritain nggak Oscar sendiri mulai serius main musik tuh kapan?

O: Kalo yang udah fokus di musik ya, itu sebenernya dari “Instrumen Tua”. Tahun lalu (red: 2016), aku rekaman lagu itu awal tahun apa akhir tahun 2015, aku lupa, jadi dikeluarinnya April. Jadi dari situ mulai seriusnya.

TDP: Apa emang cita-cita dari kecil untuk jadi musisi?

O: Kalau bermusik itu hobi sebenernya. Aku pernah beberapa kali bikin band emo dan screamo gitu namanya Amathyst. Aku mulai pengen serius main ya waktu bikin band itu, SMP atau SMA lah. Tapi setelah itu, main musik itu hobi, hore-hore aja. Sebenernya aku lebih cita-cita untuk menekuni film. Tapi karena ada peluang di sini (re: musik) ya aku seriusin di sini.

TDP: Wah, kenapa lebih memilih film? Apa ingin mengikuti jejak ayah, Roy Lolang?

O: Aku minat di film sih secara pribadi. Sebenernya dari keluarga cuman dicekokin film, nonton film, dateng ke set, tapi waktu itu emang seneng film dan menggali-gali lebih dalam lagi

TDP: Kenapa ngasih judul album terbarunya “Drowning In A Shallow Water”, apakah ada filosofi tersendiri?

O: Itu kondisi yang saya sedang rasakan waktu menulis album itu, dan mungkin sampai sekarang ya. Banyak orang mungkin juga merasa hal yang sama dan aku bisa menggambarkan kondisi tersebut lewat musik di album itu. Ibaratkan kita ini samudra, air, ada yang permukaannya dalam seperti palung, ada yang dangkal banget. Aku berada di posisi dangkal, tapi nggak tau kenapa kok tetap tenggelam. Kurang lebih begitulah analoginya.

TDP: Musik-musik Oscar Lolang sering dikategorikan sebagai folk, setuju nggak dengan pernyataan itu?

O: Setuju aja sih, karena lagu-lagu yang aku tulis terinspirasi dari berbagai musisi folk. Seperti Bob Dylan, Nick Drake, Simon &  Garfunkel, Leonard Cohen.

TDP: Oscar banyak menyisipkan pesan-pesan sosial di dalam lagunya, inspirasinya dari mana sih?

O: Inspirasinya beragam, dari jalan-jalan, pengalaman langsung, cerita orang, artikel-artikel atau buku yang saya baca.

TDP: Kira-kira dari album itu, lagu mana yang Oscar banget?

O: Hmm sebenernya laguku kebanyakan story-telling, jadi kebanyakan merupakan interpretasi personal akan hal di luar aku. Kalo yang aku banget apa ya… hmmm…. apa ya. Mungkin kayaknya “A Bosnian & A Brazilian” karena itu pengalamanku langsung waktu aku berlibur ke Paris dan ketemu dua perempuan, satu dari Bosnia dan satu dari Brazil. Yang satu mau nyopet, yang satu setelah ngobrol aku langsung lupa namanya. Ceritanya cuman itu sih, orang lain yang mendengar bisa aja punya interpretasi lain dari lagu itu.

TDP: Anggota keluarga Oscar yang lain juga ada yang musisi, ada niat untuk kolaborasi di suatu lagu atau karya gitu nggak?

O: Iya adek aku, Leon Lolang, punya band namanya Roller Chaser. Sebenernya dia udah ikut main harmonika di salah satu track “Unwanted Temple”, tapi bukan bandnya, melainkan dia sendiri. Adik saya paling kecil juga ikut berkontribusi di “Yellow Moon”. Jadi dua-duanya sudah diajak main-main aja sih.

TDP: Lalu, kenapa lagu-lagu Oscar Lolang kebanyakan berlirik Bahasa Inggris? Padahal dengan Bahasa Indonesia mungkin saja pesan yang disampaikan lebih ngena. Ada alasan khusus?

O: Saya balikin lagi ya, why not? Sebenernya saya ada lagu Indonesia, lagu lama tapi aku pikir ada kenyamanan tersendiri waktu pakai Bahasa Inggris. Mungkin karena kita tinggal di kota (re: urban), sehingga banyak pengaruh dari luar seperti Hollywood. Banyak istilah-istilah di Bahasa Inggris yang susah diubah ke Bahasa Indonesia, malah jadinya aneh. Bahasa Indonesia sendiri menurut saya menarik dan tricky. Kalau salah sedikit akan cheesy dan sok puitis, tapi saya lagi belajar bikin lirik Bahasa Indonesia yang lebih baik sih.

Oscar Lolang InterviewTDP: Setelah ini, apa plan dari Oscar Lolang, dan kapan merilis next album?

O: Belum tau sih, belum pasti. Kalau dibikin sih pasti mulainya tahun depan (re: 2018) karena lagu-lagunya udah ada untuk album kedua. Tapi belum masuk proses workshop dan rekaman, jadi kemungkinan tahun depan.

TDP: Ada dream collaboration dari Oscar Lolang untuk next album?

O: Aku sih kepengen kerjasama bareng Lafa, bukan bermusik bareng tapi lebih pengen diproduseri oleh beliau. Kalau untuk penyanyi, mungkin Vira Talisa, saya suka style-nya dan tone suaranya yang kuno. Sandrayati Fay juga oke. Banyak cewek ya, hahahhaa, kalau cowok saya bingung juga. Ada juga pemain violin berbakat dari Bandung, namany Estu. Saya juga tertarik untuk kolaborasi bareng Nadine, bakat nyanyinya gila dan The Girl With The Hair.

TDP: Selama kamu jalan-jalan di Malang dan sempet nonton beberapa gigs, ada nggak musisi yang kamu suka dari sini?

O: Wah banyak yang musiknya asik, saya suka beberapa band dari Malang. Ada Beeswax, Intenna, Ajer, Oneding, Iksan Skuter. Seharusnya musisi-musisi ini bisa lebih besar lagi.

Serupa Music Hadirkan Panggung International di Kota Kembang
Oscar Lolang

TDP: Ada tips nggak buat mereka yang berkarir di musik supaya bisa go national?

O: Secara general aja sih ya. Saya lihat Malang dan Bandung punya iklim musik yang hampir mirip karena banyak mahasiswa di sini. Pesan saya sih, lanjut terus, hajar aja. Karena banyak kasus ketika band-band sudah mulai konsisten, terus harus ditinggal personilnya untuk kerja di Jakarta atau lainnya. Jadi harus tetap bermusik dan berkarya, itu aja sih.

Wawancara & Photo: Hanif Ardhika/Editor: Novita Widia