Review: The Rentenir dan Berbagai Inspirasinya di Album “Eternal Journey to The Greatest Self Exploration”
Eksplorasi Sound yang (Seharusnya) Terus Dilakukan
Tepat di akhir tahun 2019 dan memasuki era pandemi tahun 2020, muncul band bernama The Rentenir di Kota Malang yang terdiri dari 3 orang anggota, yaitu Vinnory (Cim) sebagai gitaris dan vokalis, Dimas mengisi posisi vokalis dan gitaris, dan Hafizh (Hasr) di posisi vokalis dan bassist. The Rentenir mengaku memainkan genre indie pop, namun setelah mendengarkan berbagai karya terdahulu kami menemukan sound Queen dan The Beatles yang kental di hampir setiap lagunya. Kiblat musik ke band-band legendaris ini merupakan landasan yang baik untuk memulai sebuah band. Tidak ada filosofi berat dari nama The Rentenir, hanya berawal dari kelakar internal serta alasan paling masuk akal adalah kata The Rentenir terdengar unik, nyeleneh, dan mudah diingat orang banyak.
Selama kurun waktu 2020-2021 The Rentenir telah merilis 4 single dimulai dari “Reina”, “Love Kills, Queen”, “When She Said”, dan “New High”. Kini, memasuki 2022, The Rentenir akhirnya merilis album debut mereka yang berjudul “Eternal Journey To The Greatest Self Exploration” yang seakan mengisyaratkan bahwa eksplorasi mereka terhadap jati diri mungkin dalam hal ini secara musikal, akan terus berjalan berkelanjutan. Album ini dimulai dengan track intro “Eternal Journey” yang dibalut strings section dan koor vokal yang menyambut kita datang ke perjalanan tiada ujung dari tiga pemuda ini.
Bisa dibilang album ini dimulai di track 2 yaitu “New High”, karena di nomor inilah terdapat melodi dan lirik yang proper. Di nomor kedua yang pernah dirilis sebelumnya tersebut, kita disambut jangly lead guitar ala Johnny Marr di “These Charming Man” namun seakan di-reverse. Bagi yang tidak menyadarinya atau awam dengan lagu-lagu Johnny Marr, lagu ini cukup decent dan original dengan progresi mulai dari jangly sampai menuju outro yang dipimpin lead guitar yang meraung ngerock sekali.
Masuk ke track 3, “Get Out”, lagu ini mengingatkan penulis dengan band asal Inggris yakni Arctic Monkeys. Mereka yang tumbuh dengan Arctic Monkeys di era 2007-an lewat album “Whatever People Say I Am, That’s What I’m Not”, dengan berat hati kami sampaikan bahwa lagu ini akan sangat mengingatkan kalian dengan lagu “Sun Goes Down” milik AM, itu pula sampai menit 1:42. Selanjutnya trace dari band tersebut sudah tidak tampak sama sekali. Terlepas dari kemiripan tersebut, kami akui track “Get Out” bisa memikat para pendengar dalam sekali putar dan patut saja lagu ini menjadi andalan di album debut The Rentenir.
Dilanjutkan oleh track 4, “It Comes Again”, kami hampir saja mengira kami akan mendengarkan lagu “Dreams” dari The Cranberries, syukurlah semua dimulai saat menit 0:13. Ternyata dari 0:13-3:56 track ini merupakan track power pop, lengkap dengan isian riff gitar yang manis dan driving sekali untuk mendorong kita humming dan berjoget. Track yang cocok untuk mengajak teman-teman berdansa dan bergembira ria.
Kemudian masuk track ke 5 berjudul “Luna”, lagu ini merupakan sebuah ode yang straight forward terhadap gadis yang bernama Luna, dan surprisingly ada sedikit elemen breakdown organ ala “Strawberry Fields Forever” milik The Beatles. Tempo album sedikit diturunkan di track pertengahan ini dan menjadikan dinamika album layaknya roller-coaster.
Track ke-6 berjudul “It Might be A Doublecross”, kita disuguhi intro yang hampir saja terdengar seperti “I Bet You Look Good On The Dancefloor” yang dibawakan AM tapi tidak jadi. Pendengar justru disuguhkan twist sampai sedemikian rupa sehingga lagu ini jadi track yang distortif (ngerock) yang dibalut kocokan gitar yang funky. Meskipun iramanya terdengar ceria dan danceable, lirik lagu ini justru menceritakan tentang romansa masa lalu yang meninggalkan luka dalam. Sunggguh bertolak belakang dengan keseluruhan melodi dan vibe lagunya.
“All The Amens” yang menjadi track ke-7, surprisingly tidak mengingatkan kami pada siapa-siapa dan mungkin menjadi track favorit kami dari seluruh album ini. Track ballads yang dreamy dan cocok dimainkan menjelang tidur. Lagu ini juga berisikan bayangan akan masa depan jauh di mana mimpi akan menjadi kenyataan.
Track ke-8 yaitu “This Song is For Remembering You and Me” juga menjadi track favorit kami, yang bercerita tentang kangen tak tertahankan. Kami hanya heran, mengapa ada label E untuk lirik eksplisit di Spotify meskipun setelah kami cek liriknya tidak mengandung kata-kata makian. Yah, mungkin memang mendeskripsikan kegiatan semi sensual, namun kami rasa tidak perlu menyematkan label eksplisit tersebtu. Di track ini, intro lagu “Kiss Me” oleh Sixpence None The Richer dengan melodi yang sangat dilambatkan sedikit terbayang-bayang di benak kami. Akan tetapi, terlalu banyak lagu dengan chord C dan Cmaj7, jadi tidak perlu diperbandingkan lebih jauh. Ini lagu udah “enak” dan cocok didengarkan untuk menemani sesi intimate dengan orang terkasih.
Di lagu penutup album berjudul “The Queen is Dead”, kami diingatkan dengan judul album ke-3 The Smiths yang juga berjudul “The Queen is Dead”. Secara lagu, justru lagu ini tidak terdengar sama sekali seperti The Smiths. Justru bagian pembuka lagu yang dimulai dari chord G lebih dekat dengan “Creep”-nya Radiohead. “The Queen Is Dead” mencoba terdengar progresif dengan memasukkan tempo cepat di bagian reff setelah verse yang lambat, kemudian kembali pelan lagi dan kembali rancak dengan outro drum yang ramai.
Overall kami masih belum bisa menentukan bagaimana perasaan kami sepenuhnya saat mendengarkan 9 lagu ini. Terkadang influence yang terlalu kentara di beberapa intro lagu membuat kami terpental dari ruang dengar, tapi di sisi lain ada part-part lagu yang tidak bisa kami lupakan dari telinga dan kepala kami. Kami iuga tidak bisa langsung serta merta menghujani band yang baru 3 tahun berjalan dan merilis debut albumnya di tahun ke-3 dengan berbagai tuntutan untuk menjadi sempurna, sama seperti menyuruh anak untuk naik sepeda sebelum pandai berlari. Walaupun begitu, pilihan Cim, Dimas dan Hasr untuk mengambil unsur merseyside ala Beatles dan British rock ala Queen merupakan keputusan yang tepat, mengingat beberapa lagu dibangun atas pondasi tersebut.
The Beatles dan Queen adalah pondasi utama musik pop dan rock di abad 20 dan abad 21. Walaupun begitu, album perdana ini patut diapresiasi dan mencerminkan judulnya yaitu “Eternal Journey To The Greatest Self Exploration”, yang berupa eksplorasi musikal mereka yang terdengar di tiap lagu. The Rentenir punya banyak potensial, dengan jam dengar yang lebih banyak dan jam terbang lebih banyak, band ini tidak akan hanya menjadi unit power pop (atau bahkan summertime pop) yang mumpuni. Sepertinya eksplorasi sound dari The Rentenir masih akan terus berjalan dan album debut ini hanyalah pintu gerbang dari berbagai musik yang akan disajikan oleh band tersebut. Ladies and Gentlemen, this is The Rentenir with “Eternal Journey To The Greatest Self Exploration” on various digital streaming services!
Penulis: Akhmad Alfan Rahadi/Editor: Novita Widia