Pengalaman Nonton Konser The 1975 bagi Sang Post-30: Sensualitas, Revolusi, dan Perlawanan
Penulis: Akhmad Alfan Rahadi
JAKARTA (29/9) – Banyak hal di kepala saya pasca menonton konser The 1975 , band asal Manchester, Inggris. Konser yang dipromotori oleh TND Live dan Sound Rhythm ini mendatangkan band pelantun lagu “She’s American” tersebut untuk kali ke-2 ke Indonesia. Sebelum melangkah ke pembahasan, perlu saya tekankan bahwa umur saya saat ini 33 tahun dan beranjak menuju 34 tahun alias Post 30 sehingga asupan musik tentu mempengaruhi cara pandang saya terhadap sebuah band. Saya dibesarkan dengan kultur 90-an dan 2000-an awal, dengan musik yang tentu saja menghiasi masa muda saat itu dan sedikit eksplorasi yang dibuka oleh kaset-kaset koleksi ayah saya. MTV Classic dan musik 80an Barat mulai dari Tears For Fears, Spandau Ballet, Culture Club, Human League hingga The Cars menjadi asupan sehari-hari saat saya tumbuh dan titik awal perkenalan saya dengan musik yang nantinya saya kenal sebagai genre sophistipop atau pop kreatif dalam istilah Bahasa Indonesianya.
Jaman kuliah mengenalkan saya Prefab Sprout yang mengusung musik pop semi R&B dan Jangle Pop yang dibalut dengan manis dan dihiasi lirik yang memanjakan emosi. Fast forward to 2013, musik-musik dari The 1975 bergantian menghiasi ruang dengar publik. Albumnya “I Like It When You Sleep, For You Are So Beautiful Yet So Unaware of It” yang meledak di tahun 2016 seakan membawa saya kembali dalam balutan sophistipop 80-an dan beruntungnya saya bisa menyaksikan konser dari band yang beranggotakan 4 orang pria asal Inggris ini pada hari Minggu, 29 September 2019 di Helipad Parking Ground GBK, Senayan, Jakarta. Konser tersebut adalah rangkaian tur album ketiga mereka “A Brief Inquiry Into Online Relationships” yang dirilis pada akhir tahun lalu. Tentu saja wajah-wajah generasi Z banyak ditemukan dan wajah-wajah seumuran saya bisa tenggelam dalam lautan muda mudi yang tidak sabar untuk menikmati balutan romansa dari The 1975.
Barasuara membuka konser ini dengan lagu-lagu andalan mereka seperti “Bahas Bahasa”, “Guna Manusia” dan tentu saja “Bara dan Suara”. Anthemik, atraktif dan catchy tentu menjadi senjata mereka menarik penonton. Sing-along tak terelakkan di sesi mereka, dengan selingan jokes ala Iga Massardi yang melontarkan kelakar dalam bahasa broken English sebagai parodi. Meskipun penonton tampak belum familiar dengan nomor-nomor baru di album kedua mereka “Pikiran dan Perjalanan”, mayoritas masih bisa mengikuti irama yang disajikan oleh keenam musisi tersebut. Ketika Barasuara turun panggung dan lampu dipadamkan, ada jeda sekitar 20 – 30 menit untuk para kru dan teknisi panggung untuk mempersiapkan stage bagi konser The 1975. Maklum band ini dikenal sangat atraktif dalam menyajikan visual saat tampil secara live, jadi saya memaklumi jeda yang agak panjang.
Mathhew Healy dan kawan-kawan mendobrak dengan lagu “People” yang diambil dari album yang akan dirilis tahun depan yakni “Notes On A Conditional Form”. Berbeda dengan lagu-lagu album sebelumnya, kali ini mereka mengusung irama pop-punk dan raungan gitar ala 80’s. Visual yang menggambarkan era digital dan berbagai peristiwa yang menghiasi dunia saat ini sampai “blue screen of death” di PC memanjakan obsesi saya terhadap narasi Cyberpunk ala Blade Runner dan derivatifnya. Kemudian masuk lagu kedua, musik mereka beranjak 80-an dan soulful, dengan background visual ala Harlem, New York maupun Oldham, Manchester, lengkap dengan dua dancer yang bergaya hip-hop yang mengiringi mereka.
Raungan gitar yang bluesy dari Adam Hann dan Synth dari John Waugh ala Kenji Kawai yang romantik dan mengawang
meresonansi sudut-sudut nostalgia saya. Lewat koner The 1975, mereka berhasil menerjemahkan seluruh elemen sophistipop 80-an dengan sempurna, para muda-mudi generasi sekarang menikmati dengan joget dan sing-along, menikmati konten yang mereka berikan sedangkan saya menikmati bagaimana mereka menggugah otak saya dengan lirik mereka yang tajam, romantik, menyentil hati saya yang gundah, dan nostalgik ala 80-an dan 90-an. Baru kali ini saya menonton konser dengan tersenyum lebar, walaupun sebelumnya tidak terlalu religius dalam menikmati musik dari band tersebut.
Dalam hati saya bersumpah serapah “What kind of sorcery is this!”. Saya terpana dan terlena dengan kemampuan mereka memaksimalkan suara-suara era 80-an akhir dan awal 90-an dengan maksimal. Sesekali saya tak sengaja terdengar obrolan remaja-remaja di depan saya yang mencoba menganalisa musik The 1975 dan segala kekomplesannya. Bagi saya, The 1975 tidak menawarkan sekedar kompleksitas, mereka menawarkan potensi maksimal dari aura sophistipop 80-an yang soulful dan seksi untuk memuluskan mereka mengirimkan pesan-pesan lewat lirik mereka yang tidak hanya melulu memuja romantisme, namun juga dengan berani membahas isu politis, ekologis, dan sosial.
Mereka menggabungkan semangat musik punk yang menawarkan amarah dan musik R&B yang sensual, dan menghasilkan lirik-lirik yang penuh pesan baik secara gamblang maupun metaforis. Bahkan saya menemukan influens Michael Jackson dalam musik dan video yang mereka sajikan saat live. Musik mereka bisa dibilang sebagai pop yang mewah karena banyak bebunyian aksen yang menunjang kemegahan dan sensualitas tersebut seperti saksofon dan masih banyak lagi. The 1975 juga menampilkan pidato Greta Thunberg yang viral tentang melawan oligarki yang mulai merusak lingkungan hidup dan mencekik kehidupan kita. Sebuah langkah yang cukup berani dari band pop yang banyak dicap sebagai simbol kapitalisme. Momen ini terasa tepat digaungkan saat negara Indonesia tengah menghadapi berbagai konflik lingkungan seperti karhutla (kebakaran hutan dan ladang) hingga perlawanan rakyat untuk mencegah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang merugikan untuk disahkan.
Matthew yang merupakan personifikasi istilah “IDGAF” bisa dibilang sebagai aktivis terselubung yang menyampaikan pesan-pesan kepada kaum milenial dan Generasi Z bahwa dunia ini sedang tidak baik-baik saja lewat musik dan lirik yang dibawakan The 1975. Mereka pun menutup setlist dengan manis lewat tembang “Chocolate”, “Sex”, dan “The Sound”. Sebanyak 21 lagu yang dibawakan tidak henti-hentinya membuai dengan visualisasi yang berbeda-beda dan sama-sama menariknya. Tidak disangka, konser The 1975 ini bisa masuk ke jajaran konser terbaik yang pernah saya datangi. Bahkan menuliskan ulasan ini mampu membuat sesimpul senyum mengembang di wajah kala teringat momen-momen istimewa saat mereka tampil. Band tersebut juga tidak menutup kemungkinan bahwa mereka akan mampir ke Indonesia lagi di tahun depan saat “Notes On A Conditional Form” dirilis. What a concert!
Editor: Novita Widia
Fotografer: Kevin Aldrin