
Ritme Kota: Upaya Kota Malang Menarasikan Scene Musiknya
MALANG – Mengutip dari Kimung*, seorang pelaku dan penulis musik asal Bandung serta penggagas komunitas Ujungberung, kota seni yang hebat memiliki narasi dan narator yang kuat. Sepertinya pesan tersebut tersampaikan hingga ke kota terbesar kedua di Jawa Timur yakni Malang lewat perilisan buku “Ritme Kota”. Malang sejak tahun 70-an telah banyak menelurkan budaya musik yang kuat mulai dari genre metal, rock, folk, pop dan masih banyak lagi. Meskipun para pelakunya secara aktif berkarya, pencatatan dan narasi tentang karya mereka kurang direpresentasikan lewat literatur populer. Peredaran berita tentang sepak terjang para musisi Malang hanya sebatas berputar lewat zine lokal yang sirkulasinya tidak seluas atau semasif produk literatur lain.
Hal itu coba diubah lewat “Ritme Kota”, produk literatur yang dirilis oleh Pelangi Sastra. Dibuat secara keroyokan oleh 12 penulis dan disunting oleh jurnalis musik kawakan Samack, buku ini secara resmi diluncurkan pada hari Rabu, 4 September 2019. Dibanderol seharga Rp72.000, buku yang mayoritas diisi oleh para penulis, pengamat, dan pelaku musik yang berdomisili di Malang. Buku tersebut memuat berbagai sudut pandang tentang scene musik dan seni di kota tersebut. Beberapa judul yang bisa kamu temukan di dalam buku ini antara lain “Geliat Rock Alternatif Kota Malang dalam Tiga Babak” karya Radinang Hilman; “Malang Sub Pop: Hidupkan Tempat Wisata Mangkrak” karya Dewi Ratna; “Mengapa Menyanyikan Puisi?” karya Han Farhani dan masih banyak lagi.
Dandy, perwakilan dari Pelangi Sastra dalam acara peluncuran buku “Ritme Kota” mengungkapkan bahwa ide-ide yang ada di buku ini masih sangat terbuka untuk dikembangkan lagi. Ia pun tidak menutup kemungkinan bahwa masing-masing penulis di buku ini bisa jadi mengembangkan bab yang mereka tulis menjadi buku tersendiri. Samack sebagai penyunting mengungkapkan bahwa edisi lanjutan dari “Ritme Kota” yang nantinya melibatkan lebih banyak penulis atau topik bisa dirilis di masa depan. Ia kemudian mengungkapkan ia dan pihak Pelangi Sastra sebisa mungkin melibatkan penulis, ilustrator, dan pengamat musik yang memang pernah bersinggungan langsung dengan Malang.
Muhammad Hilmi, penulis Whiteboard Journal yang menulis kata pengantar di buku ini pernah menghabiskan 8 tahun di kota apel tersebut. Begitu pula Aldy Maulana, ilustrator sampul buku “Ritme Kota” asal Batu yang kini menetap di Jakarta lahir dan mengenyam pendidikan di Kota Malang. Lebih jauh lagi, Samack berujar bahwa “Ritme Kota” diharapkan tidak hanya menjadi buku yang berisi sejarah scene musik Malang, namun juga menjadi inspirasi atau pemicu kreatifitas bagi para calon penulis, pengamat, dan pelaku musik. Buku “Ritme Kota” telah dilepas ke pasaran dengan harga Rp72.000 per eksemplar. Buku ini bisa dipesan di akun Instagram @ritmekota atau @pelangisastrabooks lewat fitur direct message.
* : dikutip saat “Workshop Pembangunan Ekosistem Musik di Kota Malang” oleh BEKRAF di bulan Agustus 2019