Review: “Bumi Manusia”, Relevansi Masa Kini dan Adaptasi Hitam Putih
JAKARTA (12/7) – “Bumi Manusia” merupakan salah satu karya sastra terbesar bangsa Indonesia. Sudah sepatutnya adaptasi novel legendaris karya Pramoedya Ananta Toer ini dibebani begitu banyak ekspektasi. Setelah mengalami development hell (fase pre-produksi yang mengalami banyak hambatan) dengan pergantian sutradara hingga skrip, judul ini akhirnya dipercayakan kepada Hanung Bramantyo. Kemarin malam, kami berkesempatan untuk menonton “Bumi Manusia” pada sesi Celebrity Screening yang mengundang tidak hanya para aktor dan aktrisnya, namun sesama rekan selebritis yang banyak bergelut di bidang showbiz dan perfilman. “Bumi Manusia” menceritakan tentang masa kolonialisme Belanda dari mata seorang pribumi cerdas yakni Minke (Iqbal Ramadhan). Minke yang mengenyam pendidikan di Hoogere Burgerschool (setara SMU di masa kini) menjadi anak keturunan pribumi yang berkesempatan untuk meraih pengajaran yang setara dengan mereka yang keturunan Belanda. Meskipun begitu, Minke menganggap bangsa ini bisa lebih besar dari sekadar jajahan negara Belanda. Ia melakukan perlawanan dengan senjata yang bisa ia andalkan yakni tulisan. Tulisannya memuat pemikirannya yang brilian dan membawa semangat perlawanan atas ketidakadilan di Indonesia.

Di sisi lain ada sosok Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti) yang banyak dicerca oleh sesamanya karena merupakan istri simpanan orang Belanda hidup dengan prinsip bahwa belajar adalah kunci melawan penjajahan. Membesarkan seorang anak bernama Annelies Mellema (Mawar Eva de Jongh), ia menjadikan pengalaman sebagai guru terbesarnya. Kepintaran dan kegigihan Nyai Ontosoroh mampu menginspirasi Minke untuk meneruskan perjuangan membebaskan bangsa ini dari kebodohan. “Bumi Manusia” mengamati pergolakan rakyat Indonesia di bawah pemerintahan Belanda dan bagaimana watak, karakter, dan budaya negeri ini melanggengkan kolonialisme serta perjuangan berat yang harus ditanggung para pahlawannya.
Pertama-tama, kami ingin mengulas akting dari para tokoh utama terutama Iqbal Ramadhan yang banyak disangsikan oleh para penggemar setia novel tetralogi ini. Ia mampu lepas dari bayang-bayang tokoh Dilan yang ia mainkan pada film sebelumnya. Mental Minke yang revolusioner dan pemberani dapat ia translasikan lewat gestur dan ekspresi wajah. Sedikit kekurangan ada pada aksen Jawa-nya yang memang terdengar dibuat-buat, namun tidak semua aktor adalah Reza Rahardian, jadi peformanya sebagai Minke cukup aman. Selain Minke, tokoh Nyai Ontosoroh cukup baik dalam memerankan persona wanita yang tidak mengenal rasa takut pada apapun. Meskipun aksen Jawa Timur dari Minke yang kurang maksimal, kami harus mengakui dan memberikan apresiasi tinggi pada lafal dan intonasi yang ia ucapkan dalam bahasa Belanda. Sha Ine Febriyanti juga tidak kalah mahir dalam menggunakan bahasa Belanda yang terdengar cukup lancar ia lontarkan.

Ada satu hal yang kami sayangkan yakni penggambaran karakter di film ini yang begitu hitam putih. Entah kesalahan ini terletak pada kurangnya eksplorasi aktor dan aktris yang ada di dalamnya, kurangnya pengarahan di bagian sutradara, atau scoring film yang begitu gamblang, kami jarang menemukan adanya kedalaman karakter pada kepribadian para tokoh. Tokoh baik selalu memiliki atribut baik, begitu pun sebaliknya di mana tokoh antagonis selalu lekat pada atribut tercela tanpa memberikan ruang bagi fitur lain yang biasanya bisa ditemukan pada manusia. Perubahan scoring dari adegan netral ke adegan yang menampilkan tokoh antagonis terasa kurang mulus. Sebagai penonton yang belum membaca novelnya, film ini sepertinya sudah cukup merangkum esensi cerita yang ada di buku tersebut. Apabila dilihat dari sudut pandang pembaca novel, “Bumi Manusia” tampak terburu-buru dalam mengelaborasikan narasi yang ingin dibangun. Durasi film yang panjang masih belum cukup untuk menampung dan menampilkan semua gagasan Pramoedya Ananta Toer dalam bentuk visual. Terlalu banyak plot holes yang memberikan cerita menggantung atau adegan tanpa pengantar yang cukup bagi penonton untuk memahaminya.
Kesalahan dalam pemilihan kostum yang tidak sesuai kasta pemakainya, hingga cara penggunaan senjata yang tidak sesuai dengan budaya serta adat sang tokoh yang ditampilkan menjadi hal minor yang bisa jadi cukup mengganggumu apabila kamu menyukai sejarah. Proses produksi yang singkat atau lemahnya penelitian sebelum dalam fase pre-produksi bisa menjadi alasan di balik keanehan yang sebetulnya sangat bisa dihindari tersebut. Terlepas dari banyak kejanggalan, kekurangan, dan kurangnya akurasi dengan novel serta adat istiadat, “Bumi Manusia” cukup bisa dinikmati sebagai penonton kasual. Relevansi dengan budaya masa kini pun masih bisa diamati. Jika dibandingkan dengan karya film historis Hanung lainnya, film ini bisa dikategorikan sebagai yang cukup baik (meskipun masih di bawah “Sang Pencerah”). Analisa berlebihan hingga perbandingan tiada henti cukup kamu serahkan kepada kami, karena kalau kamu tanggung sendiri, kami tidak menjamin kamu keluar dari bioskop tanpa rasa kecewa atau emosi. Selamat menikmati “Bumi Manusia” produksi Falcon Pictures yang tayang di bioskop dari tanggal 15 Agustus 2019!
Reviewer: Anindya Putri/Editor: Novita Widia
Documentation & Trailer: Falcon Pictures