Review: Kucumbu Tubuh Indahku Menawarkan Alur Hidup Penuh Konflik Seorang Penari Lengger
JAKARTA (15/4) – “Kucumbu Tubuh Indahku” adalah karya terbaru dari rumah produksi Fourcolour Films yang terinspirasi dari kisah hidup Rianto. Tidak pernah sekalipun kami membayangkan akan hidup sebagai Riant yang merupakan seorang penari Lengger yang sekarang menetap di Jepang. Kisah hidupnya menginspirasi banyak orang termasuk sineas ternama Garin Nugroho untuk menggubahnya menjadi sebuah naskah film. Film yang sebelumnya telah diputar di gelaran Jogja-Asia Pacific Film Festival (JAFF) tahun lalu tersebut akan diputar di bioskop tanah air mulai tanggal 18 April 2019. Kami berkesempatan untuk menyaksikannya terlebih dahulu kemarin pada sesi pemutaran terbatas untuk awak media. Sosok Rianto yang kemudian ditranslasikan dalam tokoh Juno (Muhammad Khan) yang menjalani tiga fase kehidupan yakni masa kecil, remaja, hingga dewasa. Ditinggalkan sosok sang ayah ketika kecil membuat Juno tumbuh besar dengan sebatang kara. Sosok kerabat pun jarang menampakkan diri di dalam kehidupannya. Tumbuh dewasa ia tertarik pada budaya tari lengger yang mengharuskan dia tergabung dalam sebuah sanggar.
Di sanggar tersebut Juno menemukan keluarga baru yang memberinya kasih sayang yang tidak ia dapatkan dari sosok orang tua. Semakin bertambah tua, kegamangan akan sisi maskulin dan feminin dalam dirinya makin besar. Tiap pengalaman, konflik, dan gejolak batin yang pernah dialaminya membuat sosok Juno mengambil perspektif baru dalam menjalani hidup. Menonton film ini membuat kami bisa relate dengan kepribadiannya yang kompleks. Garin Nugroho sebagai sang sutradara memasukkan hal-hal simbolik tentang makna kehidupan dalam “Kucumbu Tubuh Indahku”. Pesan moral yang dapat kami tangkap adalah hidup ini luas, banyak hal-hal di luar sana yang belum bisa kita mengerti dengan sungguh dan hanya tampak di permukaan saja.
Sesi tanya jawab di konferensi pers film “Kucumbu Tubuh Indahku” memberi kami kesempatan untuk mengupas lebih dalam alasan di balik pembuatan film yang mengangat isu orientasi seksusal yang cukup sensitif dalam budaya Indonesia. “Tubuh kita ini menyimpan ingatan. Rangkaian ingatan tersebut menjadi sebuah sejarah manusia, sejarah tubuh dan trauma – traumanya tersendiri yang bukan hanya personal, tapi juga merupakan representasi sosial dan politik yang dialami seorang individu. Seorang penari Lengger yang harus menampilkan sisi maskulin dan feminin dalam satu tubuh adalah sebuah pergolakan ingatan tubuh yang sangat menantang. Ini yang saya tangkap dari cerita hidup Rianto. Dan ini yang ingin saya coba visualisasikan ke dalam film,” ungkap Garin Nugroho.
Iringan musik yang digubah oleh Mondo Gascaro di sepanjang film dengan original soundtrack yang meliputi lagu “Apatis” yang sudah bisa kita nikmati secara audio visual beberapa waktu lalu semakin menambah keindahan film yang juga dibintangi oleh Raditya Evandra (Juno Kecil), Sujiwo Tejo (Guru Lengger), Teuku Rifnu Wikana (Bupati), Randy Pangalila (Petinju), Whani Dharmawan (Warok), Endah Laras (Bibi Juno) dan Windarti (Guru Tari) tersebut. Film ini mengingatkan kembali terhadap keanekaragaman budaya dalam negeri serta keragaman perspektif manusia dalam memandang kehidupan dan bagaimana pengalaman membentuk pribadi seseorang. Jangan lupa saksikan di bioskop 18 April nanti
Reporter/Dokumentasi Konferensi Pers: Habsi Mahardicha
Dokumentasi Film: Fourcolour Films
Editor: Novita Widia