Pianos Become The Teeth Membasahi Surabaya dengan Tangis
SURABAYA (1/3) – Tak ada kata yang tepat selain “emotive” untuk menggambarkan gig Pianos Become The Teeth yang diorganisir oleh kolektif Besok Pesta di Surabaya, 1 Maret 2019 lalu. Bagaimana tidak, cuaca Surabaya yang panas kemudian berubah menjadi mendung dan basah pada akhir acara. Gigs tersebut menyajikan line-up beragam dengan tema sama yakni “nggerus” (red: galau menyayat hati menurut istilah Jawa Tengah). Mulai dari tuan rumah War Fighters, grup yang membawakan irama melodic hardcore/post hardcore modern, eleventwelfth dari Jakarta dengan Midwest emo-nya, LKTDOV dari Yogyakarta yang memadukan musik Asian post-rock screamo hingga sang tamu utama, hingga Pianos Become The Teeth dari Baltimore, Maryland, Amerika Serikat.
Gelaran ini seakan mengingatkan kami pada kemunculan gelombang post-hardcore “The Wave” yang menggabungkan post-rock sound dan screamo yang menjamur di era 2000-an. Diterima oleh para penikmat musik Indonesia melalui forum-forum musik di situs seperti Kaskus, genre ini bahkan diapresiasi secara masif ketika sebuah brand lokal Peter Says denim menggelar konser untuk Touche Amoré di Jakarta circa 2012-an. Semenjak itulah, banyak band-band baru membawakan genre yang bernafaskan post-hardcore, screamo, dan emo seperti Shewn (Malang), Senja Dalam Prosa (Solo), Leftover (Malang), Forever/Always (Jakarta), Modern Guns (Jakarta), Sadstory On Sunday (Purwakarta), hingga A City Sorrow Built (Bali). Gelombang ini pun bahkan sempat menyentuh band post-hardcore veteran seperti Seems Like Yesterday dan Pitfall.
Kedatangan Pianos Become The Teeth di Surabaya kali ini tak ubahnya membawa nostalgia dan sentimentil tersendiri bagi penulis yang tumbuh bersama genre tersebut bersama evolusinya. Bertempat di Buro Bars ditemani cuaca Surabaya yang template-nya memang gerah, gigs dibuka oleh penampilan War Fighters. War Fighters sebelumnya sudah masuk ke dalam radar penulis ketika tampil di salah satu acara yang diselenggarakan kolektif Jaya Baya Abadi di Skale. Mereka memadukan emotive melodic hardcore a la Counterparts dan Shirokuma, dengan menambahkan sentuhan dinamis. Namanya yang makin melambung akhir-akhir ini membuat War Figther menjadi garda terdepan representasi band post-hardcore di Surabaya bersama dengan Emptyness, Melabuh Kelabu, serta Longest.
Band yang populer dengan lagu “your head as my favorite bookstore” yakni eleventwelfth menjadi penampil kedua malam itu. Menjadi kali kedua band ini tampil di Surabaya, mereka membawakan lagu-lagu dari album pertama mereka seperti “out of nowhere”, “take care”, “later on”, “with the weight”, “elevator”, “only if you weren’t so loud”, “farther”, “quite quiet”, “violent”, “addressing”, dan tentu saja “your head as my favorite bookstore”. Seperti telah memahami, menghayati dan menghafalkan lirik-lirik dari lagu eleventwelfth, sing-along yang cukup memekakkan telinga hadir di saat penampilan mereka. Selancar tubuh pun juga tidak terelakkan yang makin memanaskan suasana Buro Bars yang mulai dipadati penonton.
LKTDOV alias Last Kiss To Die Of Visceroth didapuk menjadi penampil ketiga dan band yang datang dari Yogyakarta ini mampu menarik perhatian kami. Seperti biasa, dengan spirit Jeromes Dream, vokalis Indra Menus berteriak agak jauh dari microphone seakan ingin melawan kerasnya sound dengan vokalnya sendiri. LKTDOV melakukan sebuah campaign unik yaitu membagikan tisu, seakan sebagai usaha preventif kalau ada yang menetes dari pelupuk mata para penonton. Lagu-lagu yang mereka bawakan antara lain, “Intro”, “All We Have Left Is Just Memories”, “Sweet Is The Night”, “Is It A Dream Within A Dream?”, “Parking Away” dan “Behold!”. Indra Menus secara interaktif mengajak penonton untuk sing-along, terutama saat tembang “Is It A Dream Within A Dream?” dan “Sweet Is The Night” dibawakan. Bapak musik noise ini bahkan sempat berbaring sejenak di tengah-tengah set sebelum melanjutkan penampilannya hingga akhir. Saat inilah, alam semesta seperti mendengar tangisan hati para sad boys dan sad girls yang datang malam itu.
-
Semesta Menjawab Tangisan Hati Sadboys dan Sadgirls
Gerimis mulai turun dan membawa kegalauan tersendiri yang direalisasikan lewat turunnya hujan. The show must go on, Pianos Become The Teeth membuka penampilan mereka sesuai jadwal. Walaupun penonton tampak mencari tempat berteduh dari venue yang terletak di area outdoor, saat vokalis PBTT yakni Kyle Durfey mengajak mereka untuk memadati bagian depan panggung, mereka tak kuasa menolak. Kesempatan itu tidak disia-siakan, hingga penonton akhirnya crowdsurfing di antara kepadatan tubuh manusia. Setlist yang dibawakan tak beda jauh dari gig mereka sebelumnya di Singapura antara lain “Charisma”, “Love On Repeat”, “Lesions”, “Ripple Water Shine”, “April”, “Filial”, “Quit Benefit”, “Fake Lightning”, “Repine”, “Hiding”, “I’ll Be Damned”, dan “I’ll Get By”. Surabaya mendapatkan setlist khusus ketika Pianos Become The Teeth membawakan “Say Anything” sembari menunggu langit berhenti menitikkan air mata.
Kyle dan kawan-kawan seakan menikmati atmosfir yang ditawarkan Surabaya, dengan sesekali harus menembus kepadatan tersebut demi berganti gitar dan membetulkan efek yang berantakan tersandung kaki – kaki penonton. Kyle berkali – kali mengucap terima kasih atas gig hari itu walaupun bisa dihitung dengan jari berapa yang datang dan Buro pun hanya separuh venue yang terisi. Kloter umroh sadboys dari Malang, Batu dan Yogyakarta berkumpul demi beribadah konser hari itu dengan khidmat, dan direstui oleh semesta dengan turunnya hujan yang menambah atmosfir keharuan dan kesenduan konser hari itu. Secara umum kolektif Besok Pesta telah menyelenggarakan sebuah gigs dengan rapi, menggunakan aplikasi Eventevent sebagai ticketing partnernya. Seandainya band-band bergenre sejenis dari kota-kota terdekat seperti Malang dengan musisi semacam Enamore, Leftover, dan Whitenoir atau Sidoarjo dengan Drown dimasukkan dalam line-up, mungkin perhelatan tersebut bisa jadi ajang unjuk gigi scene post-hardcore di Jawa Timur.
Penulis & Dokumentasi: Akhmad Alfan Rahadi (@alfanrahadi)/Editor: Novita Widia