Menyorot Pasal 5 RUU Permusikan Blueprint Menuju Tiongkok KWMenyorot Pasal 5 RUU Permusikan: Blueprint Menuju Tiongkok KW?

Kehebohan yang ditimbulkan dari munculnya draf RUU Permusikan di jagat maya belum kunjung reda. Perdebatan yang timbul baik di ruang maya atau realita, seakan semakin memperlebar jarak visi dan misi sesama musisi Indonesia. Berbagai media seperti CNN Indonesia, Tirto.id, hingga Mojok pun telah menyorot berbagai pasal karet yang mungkin menimbulkan polemik jika RUU ini telah disahkan menjadi undang-undang. RUU yang digagas oleh Komisi X DPR RI ini terdiri dari 54 pasal di dalamnya. Ia mengatur berbagai hal mulai dari konten musik, distribusi musik, pertunjukan musik, hingga uji kelayakan atau kompetensi bagi para pelaku musik. Sekarang pihak pro dan kontra berkejaran dengan waktu dengan RUU yang akan disahkan dalam beberapa bulan lagi.

Berbagai musisi seperti JRX Superman Is Dead, Danilla Riyadi, Cholil Mahmud, Rara Sekar, hingga band Polka Wars secara vokal menyuarakan penolakan mereka terhadap draf RUU ini. Sedangkan di sisi lain, musisi seperti Glenn Fredly dan Anang Hermansyah mengambil sisi pro pada draf RUU ini. Sebenarnya, apa sih yang dikhawatirkan oleh para musisi Indonesia apabila draf RUU ini tembus menjadi RUU lalu disahkan menjadi undang-undang? Selain kebijakan yang tidak berpihak pada musisi, label kecil, serta penyelenggara acara musik independen, satu pasal yakni Pasal 5 dikhawatirkan akan menjadi belenggu kreativitas dan kebebasan bermusik. Pasal tersebut berbunyi seperti di bawah ini….Menyorot Pasal 5 RUU Permusikan Blueprint Menuju Tiongkok KW

Pasal ini mengekang dan mengebiri kreativitas para musisi dalam menggubah lirik dan menyampaikan pesan yang mereka inginkan kepada para pendengar. Di saat para musisi tanah air resah terhadap aturan ini, mereka sepertinya bisa belajar lebih jauh dari pengalaman para musisi Tiongkok. Seperti yang telah diketahui, Tiongkok yang menganut sistem satu partai yakni Partai Komunis memberlakukan aturan ketat terhadap warga negaranya. Meskipun musik dijadikan salah satu medium propaganda pendiri partai ini untuk mencapai kekuasaan mereka di tahun 1940-an, musik justru menjadi medium bagi rakyatnya untuk menyuarakan ketidakadilan dan kekhawatiran mereka akan kehidupan sosial di bawah tirani.

 

Siapa yang meregulasi musik di Tiongkok?

Berdasarkan hukum administrasi informasi di internet yang juga mengatur musik yang disebarkan melalui layanan streaming digital yang berlaku di Tiongkok, si pembuat atau karya itu sendiri harus mematuhi beberapa aturan.Pasal 5 di hukum tersebut menyatakan bahwa segala karya seni yang termuat di internet harus mematuhi konstitusi, berorientasikan melayani rakyat dan paham sosialisme; meneruskan budaya leluhur yang baik; menyebarkan ide, moral, pengetahuan, teknis, dan budaya yang bermanfaat bagi kualitas budaya bangsa; serta mempromosikan pertumbuhan ekonomi dan sosial, dan memperkaya kehidupan spiritual rakyat.

Berkat hukum yang pro Partai Komunis ini, di tahun 2015 sebanyak 120 lagu dinyatakan tidak lolos dari sensor tersebut. Lagu-lagu tersebut secara paksa dihapuskan dari dunia maya dan tidak diperkenankan untuk diputar di ruang publik dan media massa. Apabila di RUU Permusikan belum menyatakan secara gamblang siapa yang mengawasi, meregulasi, serta mengeksekusi pengawasan antas musik dan konten yang tersaji, Tiongkok telah mempunyai beberapa badan lengkap yang siap mengkurasi ribuan lagu, film, serta karya budaya populer lainnya. Adalah Administrasi Umum Pers dan Publikasi (GAPP), Administrasi Negara untuk Film, Radio, dan Televisi (SARFT), Kementerian Industri Informasi (MII), Kantor Informasi Dewan Negara (SCIO), Departemen Propaganda Pusat (CPD), Kementerian Keamanan Publik (MPS), Administrasi Umum Bea dan Cukai, Biro Kerahasiaan Negara, Peradilan Tiongkok, Kementerian Kebudayaan dan masih banyak lagi.

Bersamaan ataupun secara individu, badan-badan tersebut bertugas mengawasi dan menentukan lagu atau musisi mana yang karyanya pantas atau tidak pantas dikonsumsi oleh publik. Mereka bergerak aktif di berbagai macam medium, mulai dari dunia maya hingga dunia nyata. Menurut jurnalis Beina Xu dan Eleanor Albert lewat artikel yang mereka tulis untuk Council on Foreign Relations, diperkirakan ada 2 juta orang yang dipekerjakan di bawah badan-badan tersebut yang bertugas menjaga publik Tiongkok hanya mengonsumsi karya yang diinginkan oleh negara.Menyorot Pasal 5 RUU Permusikan Blueprint Menuju Tiongkok KW

 

Bagaimana penentuan standar kelayakan karya?

Penulis Hon-Lun Yang, seorang profesor di Fakultas Musik dari Hong Kong Baptist University, dalam artikelnya di The Asia Dialogue mengungkapkan badan-badan yang bertugas menyensor musik di Tiongkok ini tidak hanya menyasar konten dari karya, namun termasuk musisi yang menghasilkan karya tersebut. Bisa saja sang musisi memiliki lagu yang berisikan cinta, namun apabila di keseharian ia lantang menyuarakan ketidakadilan, ia beserta karyanya bisa jadi dilenyapkan. Hon-Lun Yang menegaskan bahwa beberapa lagu yang dilenyapkan dari ruang publik terkadang hanya berisikan candaan tidak serius, seperti lagu tentang kentut yang ikut disensor di tahun 2015.

Lagi-lagi penentuan standar pantas dan tidak pantas ini harus disesuaikan dengan empunya kepentingan yakni Partai Komunis. Bisa dibayangkan, lagu-lagu yang anti pemerintah sudah pasti tidak akan mendapatkan kesempatan untuk didengar. Hukum yang berlaku tidak secara gamblang menyebutkan standar yang diterapkan oleh badan sensor Tiongkok untuk memfilter karya-karya para musisi. Namun di beberapa kasus, musisi dalam negeri ataupun mancanegara yang berpihak pada mereka yang dianggap ‘musuh’ Tiongkok, sudah dipastikan tidak akan mendapat tempat di negeri bambu tersebut.

Dilansir dari Kantor Berita Xinhua, 120 lagu yang disensor oleh Kementerian Kebudayaan di tahun 2015 disebut mengandung pornografi, kekerasan, kriminalitas, atau memperburuk moral masyarakat. Lalu, apakah lagu tentang buang angin adalah salah satunya? Coba bayangkan apabila pasal 5 RUU permusikan diterapkan di Indonesia, berapa banyak lagu yang mungkin tidak bisa lagi kamu dengarkan?Menyorot Pasal 5 RUU Permusikan Blueprint Menuju Tiongkok KW

 

Siapa yang terkena dampak ketatnya regulasi konten musik?

Di Tiongkok, sudah banyak musisi menjadi korban ketatnya regulasi musik dan karya seni oleh pemerintah. Hukuman terburuk yang bisa mereka terima bahkan adalah pelenyapan atau pembunuhan yang disebut dengan istilah ‘fengsha’. Hal ini bisa berpengaruh besar terhadap karir seorang musisi. Disebutkan dalam artikel Hon-Lun Yang, penyanyi asal Hong Kong yakni  Anita Mui dilarang tampil di Tiongkok daratan setelah nekat menyanyikan lagu “Bad Girl” pada konser tunggalnya di tahun 1995. Baru-baru ini, pemerintah Tiongkok menerapkan sanksi pada dua rapper yakni Wang Hao alias PG One, dan Zhou Yan alias GAI yang dianggap menyebarkan musik yang bertentangan dengan paham-paham Partai Komunis. PG One dan GAI juga diberhentikan dari acara variety show The Singer akibat melontarkan lirik-lirik yang dianggap tidak pantas dan berselera rendah oleh pemerintah.

Tidak hanya musisi, ketatnya aturan tersebut juga mempengaruhi beberapa perusahaan yang berperan sebagai distributor karya. Tiga perusahaan yang menawarkan jasa streaming musik digital seperti Alibaba Group Holding Ltd, Tencent Holdings Ltd dan Baidu Inc diwajibkan untuk meregulasi karya yang akan diunggah sebelum dilempar kepada publik. Musisi yang hendak mengunggah karya harus menyerahkannya dahulu kepada pihak pemerintah untuk melalui proses penyaringan. Publik pun seakan dicekoki oleh karya yang ingin disebarkan oleh negara. Forum, grup, serta diskusi yang muncul di domain publik tentang karya yang telah disensor pun seringkali dilenyapkan seketika.

Sensor ketat dari pemerintah Tiongkok pun tidak luput menyeleksi musisi-musisi mancanegara. Di tahun 2016, penyanyi pop Amerika Serikat Lady Gaga dilarang untuk menggelar konser ataupun memasuki daratan Tiongkok karena ia bertemu dengan Dalai Lama yang merupakan biksu dari pro kemerdekaan Tibet yang diasingkan. Salah satu lagu dari Guns N’ Roses yakni “Chinese Democracy” juga telah merasakan kejamnya hukum penyensoran di Tiongkok. Musisi lain yang tidak diterima dengan ramah oleh pemerintah Tiongkok antara lain adalah Katy Perry, Justin Bieber, Oasis, Bob Dylan, Bon Jovi, Jay-Z dan masih banyak lagi. Alasan penolakan visa musisi ini atau pelarangan konser bermacam-macam mulai dari dukungan mereka terhadap Dalai Lama, hingga sesederhana kicauan mereka di Twitter yang bernadakan pro-‘musuh’ Tiongkok.Menyorot Pasal 5 RUU Permusikan Blueprint Menuju Tiongkok KW

 

Perlukah Pasal 5 RUU Permusikan diterapkan?

Pasal 5 RUU Permusikan sepertinya hanya langkah awal bagi pemerintah untuk mengikuti jejak pemerintah Tiongkok dalam mengkebiri karya seni. Bukan maksud kami untuk menakut-nakuti pembaca atau musisi tentang masa depan mereka jika RUU ini disahkan, namun ada sudah ada contoh nyata di mana pasal karet tersebut dimanfaatkan dan diputar untuk melayani kepentingan penguasa di negara sebelah. Kebebasan berkesenian yang tidak lagi ada seakan mengkebiri kreatifitas para musisi. Tidak hanya karir, genre tertentu seperti hip-hop yang sering dijadikan medium kritik, bisa jadi tidak bisa bersemi di negeri sendiri. Pengaturan konten musik bukanlah solusi, apalagi yang standarnya tidak jelas atau gamblang disebutkan. Selain rawan politisasi dan kriminalisasi, pasal ini juga rawan multi-interpretasi. Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan (KNTLRUUP) telah menjabarkan permasalahan per pasal dari RUU tersebut. Pasal 5 khususnya dianggap bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 yang menjamin kebebasan berekspresi warga negara Indonesia.

Menurut kami, penerapan pasal ini tidak perlu dan tidak dibutuhkan oleh warga negara. Selain tidak memiliki urgensi, pasal ini pun akan semakin melanggengkan budaya otoriter yang dengan mati-matian ditentang oleh para mahasiswa dan aktivis pro-demokrasi di era Orde Baru. Haruskah kita kembali kepada masa kelam tersebut atau menjadi Tiongkok KW hanya untuk mengeluarkan unek-unek melalui nada? Penerapannya pun tidak hanya akan mempengaruhi hajat hidup musisi, namun juga banyak pihak yang berkecimbung di industri yang kami rasa lahir, tumbuh, dan besar lewat kebebasan berekspresi.

Setujukah kamu dengan pasal 5 ini? Baca lebih lanjut tentang isi RUU Permusikan di sini dan nyatakan penolakanmu dengan menandatangani petisi di sini.