Mengulik Dokumenter Kekerasan Seksual di Kampus, “The Hunting Ground”Mengulik “The Hunting Ground”, FILM Dokumenter tentang Kekerasan Seksual di Institusi Pendidikan Amerika Serikat

Kasus pemerkosaan Agni (bukan nama sebenarnya) oleh seniornya HS saat menjalani KKN di Pulau Seram baru saja diumumkan berakhir damai. Keputusan ini banyak memantik reaksi dari berbagai pihak, mulai dari para aktivis, media, hingga pemerhati hak-hak perempuan di Indonesia. Empat perwakilan kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengumumkan lewat sebuah konferensi pers bahwa kedua pihak sepakat untuk damai untuk menghindari polemik lebih jauh. Jujur saja, mendengar keputusan ini sungguh pedih dikarenakan sang pelaku tidak menerima ganjaran setimpal atas tindakan keji yang ia lakukan terhadap korban. Ia bahkan bisa lulus di bulan Mei 2019 ini asal telah memenuhi persyaratan yang ada. Dilansir dari laporan Tirto.id, satu setengah tahun perjuangan Agni untuk menuntut UGM agar men-drop out sang pelaku tidak membuahkan hasil. Jalan damai diungkapkan oleh Sukiratnasari, penasihat hukum Agni, sebagai jalan terbaik untuk memperjuangkan hal yang lebih besar dan membuat psikis Agni lebih stabil.

Tidak hanya di Indonesia, pelecehan seksual di institusi pendidikan lebih sering diabaikan seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Sebuah film dokumenter yang dirilis pada tahun 2015 berjudul “The Hunting Ground” mengungkap beberapa penyintas pelecehan seksual yang mengungkapkan kisah pedih yang mereka alami selama menuntut ilmu. Di film ini, dua orang korban yang menjadi fokus utama yakni Andrea Pino dan Annie Clark yang mengalami pelecehan seksual di University of North Carolina. Pihak kampus yang mendapat laporan pemerkosaan atau pelecehan seringkali abai dan tidak merespon lebih lanjut laporan korban. Amerika Serikat sendiri diketahui telah mengesahkan hukum anti diskriminasi seksual dan pelecehan seksual yang termuat dalam Title IX yang ada di hukum federal AS.

Di dalamnya termuat bahwa semua warga negara AS tidak berhak didiskriminasi atau dihilangkan hak-haknya berdasarkan gender atau jenis kelamin, di bawah semua institusi pendidikan atau kegiatan yang dibiayai dana bantuan federal. Kembali ke film dokumenter “The Hunting Ground”, sutradara Kirby Dick mewawancarai orang tua, rekan-rekan korban, hingga staff institusi pendidikan di mana para korban menempuh pendidikan. Digambarkan bahwa banyak faktor yang menyebabkan rape culture bisa terjadi dan mengakar di institusi pendidikan AS ini. Mulai dari budaya victim-blaming, menjaga nama baik almamater dan masa depan korban atau pelaku, hingga anggapan bahwa jalan damai lebih menguntungkan bagi berbagai pihak.

Andrea Pino dan Annie Clark beruntung bisa hidup di Amerika Serikat, di mana para korban pelecehan seksual tidak perlu melewati stereotip negatif masyarakat seperti yang terjadi di sini. Mereka bisa dengan berani mengungkap identitas mereka serta menunjukkan sikap perlawanan hingga mendirikan yayasan endrapeoncampus.org tanpa perlu dipersekusi lebih jauh. Lalu, apakah Agni bisa mengikuti jejak kedua aktivis sekaligus penyintas ini? Menurut kami sulit, di Indonesia, para korban pemerkosaan terutama perempuan seringkali mengalami dua kali pelecehan. Pelecehan mental dan fisik. Bahkan pelecehan mental yang terjadi bisa lebih hebat mengguncang psikis sang korban dibanding fisik. Menonton “The Hunting Ground” membuat kami sadar bahwa para penyintas pelecehan seksual adalah individu-individu hebat yang mampu melewati pelecehan mental dan fisik yang mereka alami.

Mengulik Dokumenter Kekerasan Seksual di Kampus, “The Hunting Ground”
Infografis dari The Hunting Ground

Perlukah Pelecehan Seksual Terjadi Padamu?

Satu poin pembelajaran yang kami dapatkan dari film “The Hunting Ground” adalah para staf institusi pendidikan cenderung meremehkan laporan para korban. Banyak di antara para korban merasa mereka tidak diacuhkan oleh staf kampus, beberapa bahkan dengan sengaja membungkam para korban agar nama almamater kampus tidak tercoreng. Kesan yang kami dapatkan ketika menonton film ini adalah pihak kampus cenderung memberikan porsi terlalu besar untuk meminimalisir kasus pelecehan seksual, ketimbang memperjuangkan hak-hak mahasiswanya. Persis seperti yang terjadi di kasus Agni yang dibahas pada paragraf awal. Kasusnya bahkan harus di blow-up lewat media sosial sebelum UGM secara resmi melaporkan kasus ini ke ranah hukum

Pada kasus Erica Kinsman di film “The Hunting Ground”, perlu waktu beberapa tahun untuknya agar berani mengungkapkan kasus pelecehan yang dilakukan atlet Jameis Winston kepadanya saat kuliah di Florida State University. Meskipun telah melalui proses hukum, Winston dinyatakan tidak bersalah dan keputusan ini pun mengecewakan para penyintas pelecehan seksual serta korban. Winston dianggap sebagai atlet yang memilki prestasi hebat dan tidak sepantasnya kasus pelecehan ini meredupkan karirnya. Lalu, bagaimana dengan Kinsman? Tidak berhakkah dia untuk menuntut keadilan?

Lady Gaga, penyanyi yang menciptakan lagu “Till’ It Happens To You” bersama Diane Warren sebagai soundtrack film dokumenter tersebut, juga seorang penyintas pelecehan seksual. Lewat wawancaranya dengan Billboard.com di tahun 2016, ia mengungkapkan butuh waktu lama untuk menceritakan hal yang ia alami. “Dikarenakan cara saya berpakaian, dan kepribadian saya yang provokatif, saya pikir bahwa faktor tersebut yang membuatnya (red: pemerkosaan) terjadi pada saya, bahwa kejadian itu adalah salah saya,” ungkap Lady Gaga. Ia bukanlah wanita pertama ataupun terakhir yang akan memiliki pola pikir ini.

Kultur victim-blaming yang menancap kuat di masyarakat kita membuat para korban ragu-ragu untuk melaporkan kekerasan, pelecehan seksuan, dan pemerkosaan yang terjadi pada mereka. Seringkali nilai-nilai ini diperparah dengan stigma bahwa mereka yang diperkosa tidak memiliki akhlak yang baik, berpakaian terbuka, atau sengaja mengundang sang pelaku untuk menyentuh mereka. Perlukah hal-hal tersebut terjadi padamu agar testimoni para korban bisa dipercaya? Perlukah pelecehan seksual tersebut terjadi pada kerabat, keluarga, teman, hingga pasanganmu untuk memperjuangkan hak-hak mereka? Kamu perlu menonton “The Hunting Ground” untuk memahami kondisi dan posisi para penyintas pelecehan seksual.