Review: Melawan Stigma Mental Illness di Film “At Eternity’s Gate”
Mental illness alias gangguan mental atau kejiwaan sama pentingnya dengan penyakit fisik yang bisa menghambat produktivitas seseorang dalam berkehidupan sosial dan berkarya. Salah satu pengidapnya yang paling terkenal adalah pelukis Vincent Van Gogh asal Belanda yang menderita depresi, anxiety, bipolar disorder, serta halusinasi. Melalui film “At Eternity’s Gate”, aktor Inggris Willem Dafoe seakan menghidupkan kembali pelukis legendaris ini lewat kemampuan aktingnya yang mengagumkan. Film ini secara khusus menyoroti beberapa tahun menjelang akhir hidup sang maestro yang ia habiskan di kota kecil Arles di Prancis Selatan. Semasa hidupnya, Van Gogh dianggap sebagai seniman yang gagal karena lukisan-lukisannya tidak banyak diminati kolektor seni. Adiknya, Theo Van Gogh yang dikenal sebagai pedagang lukisan pun tidak bisa memasarkan hasil karyanya dengan baik. Alhasil, ia seringkali merasa terkucilkan atau dianggap aneh oleh sesama pelukis yang menganggap gaya lukisannya non-konvensional.
Mengikuti saran kawannya sesama pelukis Paul Gauguin (Oscar Isaac) untuk mengucilkan diri demi mendapat inspirasi, Van Gogh pun pergi ke Prancis Selatan dan tinggal di sebuah pondok kecil berwarna kuning yang kita kenal dalam lukisan “Bedroom in Arles”. Di sana ia melukis dengan tenang dan mendapat banyak inspirasi dari lanskap alam yang ada. Sayangnya, ia sering mengalami gangguan mental diakibatkan tekanan dari warga sekitar, serta lukisannya yang tak kunjung laku. Ia seringkali berlari-lari dan berteriak-teriak hingga dimasukkan ke sebuah rumah sakit jiwa di kota tersebut. Pandagan Van Gogh terhadap karya dan metodenya unik, karena ia menganggap meskipun ia melukis alam, yang ia lukis adalah perspektifnya tentang alam tersebut. Metode melukisnya yang membiarkan cat minyak tidak terbaur rata, dianggap aneh oleh rekan-rekannya yang menganggap adanya cat timbul dari kanvas tidak layak disebut lukisan. Semakin tahun, ia menjadi semakin terkucilkan dan didiagnosa ‘gila’ oleh masyarakat sekitar.
Anxiety, depresi, bipolar disorder, serta halusinasi yang dialami oleh Van Gogh digambarkan secara artistik oleh film ini dengan sinematografi yang ditampilkan oleh sutradara Julian Schnabel. Pewarnaan adegan dengan saturasi berlebih, penggantian warna secara tiba-tiba menjadi hitam putih, tumpukan dialog-dialog yang berasal dari pikiran Van Gogh membuat para penonton “At Eternity’s Gate” setidaknya memahami pengalaman sang pelukis melawan gangguan mental ini. Di jaman tersebut pun, Van Gogh melawan berbagai stigma yang melekat pada penderita gangguan mental dengan tetap berkarya. Tak terhitung lukisan-lukisan yang lahir dari tangannya ketika ia sedang dalam masa perawatan. Kesimpulan yang kami tangkap adalah penderita gangguan mental sepertinya tidak butuh dikasihani, dikucilkan, ataupun dimusuhi. Kasih sayang dan perhatian yang diberikan oleh adiknya, rekan, serta dokter yang merawatnya cukup membuatnya berfungsi sebagaimana mestinya.
“At Eternity’s Gate” tepat kamu tonton untuk memahami realita di balik pengidap gangguan mental. Di sini kamu juga bisa menemukan kecintaan besar Van Gogh terhadap dunia seni. Film ini telah dirilis di Amerika Serikat bulan November lalu, sedangkan akan dirlis di Singapura pada tanggal 21 Februari 2019. Bagaimana dengan Indonesia? Semoga film ini juga ditayangkan di jaringan bioskop tanah air secepatnya.