5 Alasan Kenapa Film “Bird Box” Overrated
Akhir bulan Desember di penghujung 2018 lalu, jagat maya terutama media sosial dihebohkan dengan judul film rilisan Netflix yakni “Bird Box”. Film bergenre thriller dan sains-fiksi ini memancing respon banyak warganet yang jatuh cinta pada premis yang diceritakan. Memasang Sandra Bullock sebagai pemeran utamanya, film ini memberikan harapan tinggi pada calon penonton. Munculnya berbagai meme, plesetan-plesetan, hingga Bird Box challenge, kami pun jadi makin penasaran dan memutuskan untuk menilai sendiri apakah kehebohan dari “Bird Box” di sosial media ini sepadan dengan kualitas filmnya sendiri.
“Bird Box” menceritakan tentang situasi post-apocalypse (pasca kiamat) di mana umat manusia terserang suatu gejala aneh yang menyebabkan mereka ingin bunuh diri. Berawal dari Rumania, gejala aneh tersebut merebak ke Rusia hingga sampai di Amerika Serikat. Kedatangan gejala aneh ini dibarengi dengan munculnya makhluk yang tak kasat mata yang kedatangannya diawali dengan hembusan angin aneh. Malorie (Sandra Bullock) yang tengah mengandung anak pertamanya, harus menghadapi kejadian aneh di mana sang adik mati bunuh diri setelah menatap mahkluk tersebut. Ia dan beberapa penyintas yang berhasil menyelamatkan diri berkumpul di suatu rumah. Mereka dituntut untuk hidup bersama di bawah teror bayangan aneh yang tidak boleh mereka pandang sama sekali.
Film ini mengisahkan 2 waktu yang berjarak 6 tahun. Di masa depan, Malorie yang semakin putus asa hanya punya satu pilihan untuk menyelamatkan dirinya dan dua anak kecil, yaitu melewati sungai untuk sampai pada sebuah rumah perlindungan dengan mata tertutup. Disutradarai oleh Susanne Bier, kami memahami kalau para penonton mungkin terkesima dengan ketegangan dan akting sempurna dari Sandra Bullock. Tapi kalau kamu sudah menonton film sebagus “A Quiet Place” dengan narasi mirip, kamu akan merasa bahwa “Bird Box” hanyalah versi turunan yang tidak lebih baik. Inilah beberapa alasan kenapa kami rasa film ini overrated dan tidak memenuhi ekspektasi tinggi yang kami sematkan sebelumnya (SPOILER ALERT).
- Mahkluk yang Tidak Jelas Asal Usulnya
Di kebanyakan film yang mengambil setting post-apocalypse, penonton setidaknya dihadapkan pada narasi tentang makhluk atau alien yang dihadapi umat manusia. Di “A Quiet Place” makhluk tersebut seperti jangkrik raksasa yang sensitif terhadap suara, di “Edge of Tomorrow” makhluknya lebih merupakan jaringan yang merasuk ke pikiran manusia. “Bird Box” yang sebenarnya bisa jadi cerita sains fiksi yang kuat, seperti ragu-ragu untuk menunjukkan sosok asli sang makhluk yang membuat ceritanya kurang mencekam dan komprehensif. Alasan kenapa burung-burung bisa merasakan kehadiran si mahkluk juga tidak dijelaskan lebih lanjut.
- Klimaks yang Datar
Adegan puncak yang seharusnya mampu membuat napas penonton tercekat, justru jadi adegan yang biasa saja. Sepertinya sang sutradara salah menempatkan adegan menegangkan atau kurang membangun atmosfir yang seru, sehingga sepanjang film kami menanti klimaks yang menakjubkan malah menjadi kekecewaan.
- Terlalu Banyak Karakter Tambahan
Narasi yang mengambil setting post-apocalypse di versi film biasanya hanya menyorot sedikit karakter. “Bird Box” menampilkan terlalu banyak karakter yang beberapa di antaranya tidak memainkan sumbangsih besar pada keseluruhan cerita. Beberapa tokoh justru hilang di tengah jalan tanpa ada konflik atau benang merah di adegan-adegan berikutnya. Kesunyian dan kesendirian yang biasanya jadi poin kuat di cerita seperti ini malah dibuang jauh-jauh oleh penulis skripnya. Efek samping negatifnya yakni mengingatkan kami pada serial “The Walking Dead” yang tidak kunjung selesai dengan tokoh yang jauh lebih banyak dari yang kami kira. “Bird Box” ini layaknya salah satu episode dari serial tersebut.
- Romantisme Klise
Saat dunia hanya menyisakan sepasang pria dan wanita, apa lagi yang bisa dilakukan selain jatuh cinta? Saat kami berpikir akan ada jalinan kompleks percintaan, justru pasangan yang muncul sangat mudah ditebak. Kompleksitas hubungan yang pernah diadaptasi oleh film sejenis yakni “Z for Zachariah” tidak laku di “Bird Box” yang sepertinya menyasar cerita sederhana dengan romantisme yang sederhana pula.
- Sandra Bullock > Everyone
Sepertinya memainkan Sandra Bullock seorang diri dengan dua anak kecil yang ada mungkin lebih efektif untuk “Bird Box”. Jelas saja, karena karakter lain di film ini seperti tidak memiliki pemikiran rasional dibandingkan seorang wanita hamil tua yang juga merupakan seorang seniman. Karakter lain seperti hanya menunggu waktu saja untuk mati konyol.
Meskipun alasan-alasan ini membuat kami sedikit kesal dengan “Bird Box”, film ini tetap jadi bukti kesuksesan Netflix untuk memasarkan film-film di layanan streamingnya. Strategi yang sama juga diadaptasi raksasa film ini untuk mempromosikan “Black Mirror: Bandersnatch” atau “To All The Boys I’ve Loved Before”. Cukup jenius kan? Kalau kamu masih tertarik nonton “Bird Box”, mulai berlangganan Netflix Indonesia ya!
Bonus:
Film Post-Apocalypse mirip “Bird Box” yang kami rekomendasikan antara lain:
– “The Edge of Tomorrow” –> adanya alien tak kasat mata yang menduplikasi peristiwa di muka bumi menyebabkan sang tokoh terjebak di satu waktu tertentu
– “A Quiet Place” -> adanya alien yang sensitif terhadap suara
– “Z for Zachariah” -> bencana radioaktif yang hanya menyisakan segelintir manusia
– “Snowpiercer” -> penurunan suhu bumi ekstrim yang menyebabkan manusia hanya bisa hidup di rangkaian kereta
– “Planet of The Apes” trilogy -> kesalahan eksperimen pada kera yang menyebabkan mereka membangkang dan dendam pada manusia
– “Mad Max: Fury Road” -> langkanya air dan menyebarnya penyakit darah turun temurun menyebabkan manusia sehat diburu untuk diambil darahnya
Dokumentasi: Netflix