Review: Aruna & Lidahnya Sajikan ‘Greget’ 3/4 Matang
Palari Films pertama kali mengumumkan bahwa novel laris karya Laksmi Pamunjtak berjudul “Aruna & Lidahnya” di bulan Mei 2018. Bertepatan dengan pengumuman itu, aktris Dian Sastrowardoyo didapuk untuk memerankan tokoh sentral yakni Aruna. Tentu saja mendengarnya, kami meletakkan harapan yang cukup tinggi di film yang berfokus pada kuliner khas Indonesia ini. Cast yang menyusul Dian Sastrowardoyo tidak kalah mentereng, ada Nicholas Saputra yang memerankan tokoh Bono, Hannah Al Rashid yang memerankan tokoh Nadezdha dan Oka Antara sebagai Farish. Edwin yang dikenal lewat filmnya “Babi Buta yang Ingin Terbang” siap menerjemahkan adegan-adegan dalam novel menjadi kenyataan. Trailer pertama, kedua, ketiga dirilis, kami semakin tertarik untuk menontonnya terutama karena ketajaman warna-warna yang dimunculkan. Premis dari film ini sebenarnya sangat sederhana, menggabungkan hobi seseorang untuk makan dengan misinya dalam mencari sebuah resep keluarga ke daerah asalnya. Aruna yang diceritakan bekerja sebagai analis kesehatan di One World, diberi tugas untuk meneliti wabah yang diduga flu burung yang menyerang beberapa daerah di Indonesia antara lain Surabaya, Madura, Pontianak dan Singkawang.
Bono, seorang chef ternama yang bersahabat dengan Aruna menawarkan untuk memanfaatkan kesempatan ini untuk berwisata kuliner demi mengembalikan gairah hidup Aruna yang tampak lesu. Aruna pun setuju dan berangkat ke Surabaya bersama Bono. Tanpa pemberitahuan, Farish mantan rekan kerja Aruna tiba-tiba muncul dan ditugaskan dari kantornya yang sekarang untuk meneliti fenomena ini bersamanya. Aruna yang dulu diam-diam menyimpan perasaan pada Farish terkejut dan heran mengapa mereka ditugaskan untuk meneliti kasus yang aneh ini. Di sisi lain, Bono diam-diam mengundang Nadezdha ke Indonesia untuk berlibur yang tentuk saja disambut dengan baik. Dari sinilah pasangan yang sedikit nyeleneh ini menelusuri daerah-daerah tersebut dan menemukan beberapa pelajaran hidup.
Dari segi sinematografi, color grading yang ditampilkan dalam “Aruna & Lidahnya” sangat vibrant. Adegan-adegan yang menampilkan makanan, proses memasak ataupun memakan benar-benar diperhatikan sehingga para penonton benar-benar dibuat ngiler saat menonton. Beberapa spot iconic dari kota-kota yang dikunjungi oleh keempat sekawan ini juga ditampilkan secara apik, seakan mengajak kami untuk mengunjunginya. Poin plus lain adalah soundtrack serta scoring film yang mampu menghadirkan keragaman budaya Indonesia di dalamnya. Ada lagu dari Monita, Mondo Gascaro serta pedangdut Soimah yang menunjukkan bahwa makanan dan musik negeri ini sama-sama kaya. Bagi para penonton Indonesia, style pengambilan adegan dari film ini masih cukup tidak familiar. Tokoh Aruna beberapa kali melakukan dialog langsung ke arah kamera seakan berinteraksi dengan penonton seperti yang bisa dilihat di serial TV populer, “The Office”. Di beberapa bagian, gaya pengambilan adegan ini sangat pas namun di beberapa adegan lain justru terasa kaku.
Pengembangan kepribadian tokoh menurut kami masih belum sempurna. Kami sangat menyadari keterbatasan yang dimiliki oleh sutradara untuk memasukkan detail-detail yang ada di novel dalam film yang singkat. Namun akibat kurangnya eksplorasi kepribadian tokoh ini, kami kurang bisa memahami watak, latar belakang, serta kebiasaan-kebiasaan si tokoh, terutama Aruna. Chemistry yang ditampilkan 4 tokoh utama mampu menutupi beberapa kekurangan yang hadir, karena mereka layaknya teman yang benar-benar bersemangat untuk berjalan-jalan dan kulineran. Dikarenakan terdapat dua plot berdampingan di film ini dengan dua jenis berbeda yakni quest (menjalankan suatu misi) dan voyage and return (ditugaskan ke beberapa tempat untuk kembali di akhir) yang sebenarnya mirip. Konsekuensi atas dua plot berbeda adalah tentu saja salah satu mengalamai anti-klimaks, yang membuat kami sedikit kecewa. Sisi kuliner yang ingin ditonjolkan justru kurang terekspos mungkin karena penonton digiring melalui perspektif tokoh utama yang sebenarnya tidak 100% menjadikan makanan sebagai tujuan utama. Secara keseluruhan, “Aruna & Lidahnya” layaknya masakan yang 3/4 matang atau kurang bumbu, namun karena kami lapar, tetap saja kami makan.
Dokumentasi: Palari Films