Didik Nini Thowok Buktikan Seni Pertunjukan Mampu Melewati Batas Gender
JAKARTA (7/8) – Gelaran SIPFest 2018 kembali mengadakan sebuah diskusi menarik dengan salah satu legenda seni pertunjukan Indonesia yakni Didik Nini Thowok. Pria kelahiran Temanggung, Jawa Tengah ini memberikan sebuah topik menarik dalam sesi talkshow di Komunitas Salihara yang bertajuk “Tradisi Lintas Gender dalam Seni Pertunjukan Indonesia”. Beliau mengenalkan para pengunjung dengan istilah crossgender dalam seni pertunjukan, dimana wanita dan pria memerankan gender yang berlawanan. Hal ini sudah dianggap lazim di kalangan seniman pertunjukan di seluruh dunia. Praktiknya bahkan bisa ditelusuri kembali hingga abad ke-14 di Eropa. Penari yang telah memulai karirnya sejak tahun 70-an ini juga menuturkan asal muasal praktik crossgender atau lintas gender di kalangan penari. Pada masa kerajaan masih berjaya di tanah air, penari yang tampil di depan ningrat dengan gender berbeda biasanya rawan mendapat perlakuan tidak senonoh atau bahkan terjerumus ke dalam praktik prostitusi. Maka dari itu, untuk menghindari hal-hal negatif, penari-penari yang tampil diusahakan untuk memiliki gender yang sama dengan sang penonton. Praktik tersebut pun akhirnya semakin meluas dan tetap dilestarikan hingga saat ini.
Alasan lain yang ia ungkapkan adalah religius, seperti yang terjadi di kesultanan Yogyakarta dan Surakarta. Sebagai pemeluk agama Islam, kedua kerajaan tersebut sangat mematuhi hukum Islam yang melarang dua insan berbeda gender untuk bersentuhan. Karena itu dalam pentas drama tari atau tari-tarian yang memerlukan dua gender, praktik lintas gender atau disebut Langendriyan dilakukan. Di kalangan masyarakat sendiri, terdapat banyak contoh mengenai tradisi unik ini. Beberapa tari di Indonesia yang mempraktikan crossgender ini antara lain Topeng Cirebon, Wari Lais (Cirebon/Cilacap/Rembang), Tari Ronggeng (Banyumas), Topeng Lengger Wonosobo, Ludruk dan Topeng Malang, Tari Gandrung (Banyuwangi), Tari Bali dan Pendeta Bissu (Sulawesi). Melalui sesi ini, kami seolah diberikan pencerahan bahwa laki-laki yang memerankan wanita atau sebaliknya saat menari bukan hal yang harus dianggap tabu atau aneh. Justru inilah bukti pelestarian budaya yang harus diketahui dulu asal-usulnya. Mas Didik, begitu beliau akrab disapa, juga tidak ragu mempraktikan beberapa tarian yang ia jelaskan. Ia membawakan materi dengan bahasa yang santai, dengan pembawaannya yang murah senyum dan ramah. Program lain dalam SIPFest 2018 bisa kamu pantau di website Komunitas Salihara atau ikuti kanal sosial media mereka di sini.
Reporter: Intan Maharani/Editor: Novita Widia
Dokumentasi: Komunitas Salihara