Interview: Gardika Gigih, Mengenal Sang Jenius di Balik Piano Melalui “Nyala”
Malam itu tanggal 22 Desember 2017, Gardika Gigih tidak tampak seperti akan mengadakan konser. Sekilas, melihat dari pakaian yang dikenakannya, bisa dibilang bahwa musisi satu ini lebih mengedepankan kenyamanan dibandingkan gaya. Outfit-nya mungkin sederhana, tapi jangan meremehkan kemampuannya di balik piano. Di Houtenhand Garten yang terletak di daerah cukup dingin, Gardika Gigih berhasil membakar suasana malam itu dengan dentingan pianonya yang powerful. Ia memainkan lagu-lagu dalam album terbarunya “Nyala”, yang dirilis pada bulan November 2017 via Sorge Records. Dinamika yang ia sajikan membuat penonton terbuai dalam komposisi melodi rancangannya. Ia mengajak musisi lain untuk naik ke atas panggung antara lain Bambang Iswanto (The Morning After), solois Steffani BPM dan masih banyak lainnya untuk meramaikan rangkaian tur album “Nyala” di Malang. Suasana konser terasa intim dibantu dengan venue yang tidak terlalu besar dan setting panggung yang dekat dengan penonton. Kapasitas venue yang terbatas bahkan tidak mampu menampung semua penonton yang ingin menyaksikan kelincahan jari-jari Gardika Gigih memainkan tuts piano. Di akhir acara, applause panjang didapatkan oleh komponis satu ini dan tak henti-hentinya ia mengucapkan terima kasih bagi penonton yang telah hadir.
“Saya mendapat banyak influence dari musisi lain seperti Ólafur Arnalds, Ryuichi Sakamoto dan musisi neo-klasik lain. Mereka walaupun memainkan musik instrumental, tetap emosinya ‘dapet’ dan energinya tetap tersalurkan ke penonton.”
Dalam sesi wawancara dengan Gardika Gigih pasca konser, ia menuturkan bahwa tur “Nyala” dimulai dengan tidak sengaja. Ia dihubungi oleh Remedy Waloni, frontman dari The Trees and The Wild untuk main di salah satu acara musik IFI Jakarta pada awal Desember 2017. Gigih pun menyambut tawaran ini dan kemudian merencanakan tur di kota-kota lain termasuk Malang, Surabaya, dan lainnya. Di masing-masing kota, Gigih menyajikan kolaborasi dengan musisi lokal dan menanggapi hal ini, ia menyatakan bahwa ide tersebut juga muncul dadakan. “Saya biasanya latihan sekali aja karena keterbatasan waktu sih,” ujarnya. Menghabiskan dua tahun dalam proses pembuatan album, Gigih mengaku awalnya konsep yang diusung adalah rumah. Namun seiring berjalannya waktu, ia mulai tertarik dengan cahaya sehingga memutuskan judul “Nyala” merupakan pilihan yang tepat untuk mewakili isi album. Pianis ini seringkali menghadirkan komposisi yang berisikan instrumen tanpa lirik, meskipun begitu, Gigih tetap bisa menarik perhatian dari para penonton. “Saya mendapat banyak influence dari musisi lain seperti Ólafur Arnalds, Ryuichi Sakamoto dan musisi neo-klasik lain. Mereka walaupun memainkan musik instrumental, tetap emosinya ‘dapet’ dan energinya tetap tersalurkan ke penonton,” ungkapnya.
Mengawali kecintaannya pada musik sewaktu menempuh pendidikan di ISI, Gigih mengungkapkan bahwa gaya bermusiknya berkembang ketika ia berkenalan dengan para musisi lain. Ia menyebutkan bahwa Soundcloud mempertemukannya dengan Banda Neira, Layur dan banyak musisi lainnya yang membuat permainan pianonya semakin kaya. “Saya kenal dengan mereka via Soundcloud, ya saling kirim pesan dan masukan. Kalau terpaku pada latar akademis saja permainan saya sulit berkembang karena terpaku pakem yang ada,” Gigih menambahkan. Selain menjalani rangkain tur “Nyala” dan berbagai promosi lain untuk album debutnya, Gardika Gigih juga aktif mempromosikan bukunya yakni “Mendengar Di Bali”. Proyek tersebut berawal dari liburannya di Pulau Dewata selama sebulan, di mana Gigih menyaksikan berbagai permainan gamelan khas Bali dan tertarik untuk mempelajari dan membagikan ilmu yang dia dapat kepada para pembaca. Ketika ditanya apakah ia akan membukukan turnya, rencana tersebut belum terbesit di benaknya namun ia tak menutup kemungkinan untuk menghasilkan karya dalam bentuk buku di lain kesempatan.
Tidak asing dengan kolaborasi, Gardika Gigih menyatakan bahwa merupakan suatu impian baginya untuk berkolaborasi dengan Jakarta City Philharmonic Orchestra. Ia juga mengungkapkan rasa rindunya untuk bekerja sama dengan orkestra, dan memasukkan unsur-unsur tradisional, bahkan noise ke dalamnya. Gigih yang merupakan penggemar musik post-rock juga ingin berkolaborasi dengan Toe asal Jepang dan The Trees and The Wild. Ia pun melanjutkan dengan antusias bahwa Ryuichi Sakamoto adalah musisi yang sangat ia dambakan untuk bekerja sama, karena ia menganggap proyek bermusiknya menakjubkan. “Nyala” telah dirilis via Sorge Records dalam bentuk fisik dan digital yang bisa kamu dengarkan di sini.
Wawancara & Dokumentasi: Hanif Ardhika/Editor: Novita Widia