Mengenang Miss Hacker: The Pirate We All Hated But Needed
Di awal tahun 2000-an, internet mulai berkembang dengan pesat, sejalan dengan perkembangan teknologi yang makin canggih dan makin luas jangkauannya. Kurikulum internet mulai diintegrasikan dalam pendidikan Indonesia, terutama di daerah-daerah yang pertumbuhan ekonominya tinggi. Dua kalimat awal tersebut terdengar seperti pembukaan tesis atau makalah yang akan melahirkan berlembar-lembar lagi analisis, kajian teoritis, atau hasil penelitan. Sayangnya, di sini kami tidak berniat membuat suatu tulisan kompleks dan ‘njelimet’. Intinya, internet yang mulai diadopsi oleh berbagai lapisan masyarakat pada era tersebut banyak menghasilkan efek positif tapi efek negatifnya juga tidak sedikit. Pembajakan karya kreatif seperti film dan musik mulai menghantui industri kreatif Indonesia, dan untuk jagonya bajak membajak musik, kami merujuk pada satu situs bernama Miss Hacker. Sengaja atau tidak, pasti Anda yang tumbuh di era ini pernah membuka, melihat, atau bahkan mendownload lagu-lagu bajakan dari situs ini. Kami pun waktu itu mengakui pernah mencomot satu atau dua lagu dari Miss Hacker yang sejatinya memiliki kualitas audio di bawah rata-rata. Terkadang ada adlip yang sangat mengganggu, tapi toh, tetap di download juga biar update!
Ciri khas dari Miss Hacker ini adalah artwork yang selalu disisipkan di setiap lagu atau album yang dibajak. Figur seorang wanita glamorous dengan paduan warna hitam, merah, dan putih, menggabungkan font yang semi horor dan semi formal pada logonya. Kami pun juga bingung atas pemilihan visual ini, tapi jaman dulu mungkin faktor eye-catchy dan heboh lebih diutamakan. Miss Hacker dan sejawatnya seperti Stafaband, 4shared, dan lain-lain menjadi musuh bebuyutan para musisi dan label rekaman. CD dan kaset yang susah payah dijual tidak laku, karena masyarakat lebih memilih musik yang bisa dibawa kemana saja dan praktis didengar dari telepon genggam, laptop, dan bisa dihapus apabila bosan. Entah berapa keuntungan yang sudah mereka raih dari jaman kejayaan mereka, namun pada saat itu keberadaannya bisa dibilang penting. Layanan streaming digital belum terlalu eksis, iTunes belum populer dan Spotify mungkin masih dalam masa pengembangan prototype. Miss Hacker menawarkan update musik yang cepat, setiap hari selalu ada lagu atau album baru yang dimasukkan ke dalam katalog. Bahkan ada versi audio rip live dari penampilan musisi-musisi dalam dan luar negeri. Miss Hacker juga menjadi langganan abang-abang warnet yang mendapat untung dari menjual album/lagu yang didownload dari situs tersebut.
Hasil karya Miss Hacker yang masih bisa ditemukan di Youtube
Seiring dengan semakin ketatnya pemberlakuan Digital Millennium Copyright Act oleh pemerintah Amerika Serikat dalam melindungi hak cipta para musisinya, dan naiknya streaming platform sebagai primadona baru dalam mendengarkan musik, situs-situs ini lantas mati. Satu per satu situs tersebut ditutup, dari pantauan The Display, jejak terakhir yang ditinggalkan oleh Miss Hacker adalah sebuah postingan blog di tahun 2014 yang berisikan pernyataan bahwa situs itu akan dihidupkan kembali oleh Nona Hacker. Hingga kini, alamat situs yang ditulis dalam postingan tersebut mengarah pada situs non-aktif yang berisikan hyperlink ke situs-situs lain. Lahir dan matinya Miss Hacker yang kita saksikan membuktikan bahwa teknologi berevolusi dan senantiasa berkembang, yang selalu konsisten ialah kebutuhan kita untuk mendengarkan musik. Miss Hacker was the pirate we hated but needed, and we did not miss the shitty audio quality it offered for sure.