4 Stereotip Band Kampus Yang Harus Dipatahkan!
Dunia perkuliahan selain menjadi ajang menimba ilmu, terkadang juga bisa menjadi sarana mencari jodoh dan membuat band. Ketika jodoh tak kunjung tiba karena persaingan semakin ketat, maka sebagian mahasiswa mengalihkan minat tersebut dalam bermusik. Siapa tahu dengan status anak band, akan lebih mudah menggaet pasangan. Sebagian lagi memang bertemu dengan teman dan kumpulan yang tepat untuk saling berbagi ilmu bermusik, memiliki selera yang kurang lebih sama, dan memiliki passion yang tinggi untuk membuat band. Lihatlah bagaimana White Shoes & The Couples Company menjelma dari teman kampus menjadi band indie yang digandrungi anak-anak muda di Indonesia. Tentu saja mereka hanya segelintir contoh sukses dari band yang memulai karirnya dari kampus. Lalu, bagaimana dengan band-band kampus yang lain? 70% band tersebut tenggelam ketika para anggotanya lulus terutama mereka yang menimba ilmu di kampus dengan jurusan-jurusan non-seni. The Display memperhatikan fenomena band-band kampus dengan seksama dan mengumpulkan beberapa stereotip dari band kampus, serta kiat-kiat agar hal-hal tersebut bisa diubah!
1. Band kampus hilang ketika anggotanya lulus
Memang dunia setelah lulus kuliah berbeda karena semakin banyaknya tuntutan. Baik dari orang tua, maupun peer pressure yang mewajibkan kita untuk mencari jenis kerja yang “riil”. Anak band dianggap tidak memiliki karir yang jelas, jadi buat apa kekeuh meneruskannya? Di sini, komitmen band diuji, apa sih tujuan kalian membuat band? Apakah harus melepaskan satu untuk mendapat yang lain? Apakah pekerjaan 9 to 5-mu tidak memungkinkan untuk menjajal gig di akhir pekan? Ada baiknya ketika mengalami fase-fase ini, band kembali introspeksi terhadap masing-masing anggota serta mencermati ulang visi yang dulu pernah dicanangkan. Ada baiknya tidak mengedepankan ego dan mengingat masing-masing orang memiliki kontribusi yang kurang lebih sama di sebuah band.
Dies Natalis kampus? Siap. Ulang tahun jurusan? Hadir. Bagaimana dengan acara-acara musik di luar kampus? Tunggu dulu. Mayoritas band-band kampus hanya hidup dalam ekosistem kampus, dan muncul ketika ada acara-acara internal saja. Apabila band kalian mempunyai karya-karya original, sungguh merugi apabila hanya tampil di dalam kampus saja. Perkenalkan musik kalian melewati tembok-tembok kampus, mulai dari menjajah kampus sebelah mungkin? Transisi menjadi musisi yang lebih profesional terbuka lebar apabila tidak hanya bermain di acara temen-temen sendiri yang syukur-syukur dibayar.
Beraliran rock, reggae, punk, folk, atau apapun biasanya akan selalu diminta mengcover lagu-lagu populer untuk acara kampus. Hal demikian terjadi karena demografi pendengar yang mau menikmati karya original kalian minim di kampus-kampus. Boleh saja cover lagu-lagu tersebut, tapi jangan sampai istilah musisi cover melekat pada Anda. Apalagi kalau dibilang, persis banget sama aslinya! Cover pun harusnya bisa disertai ciri khas band kalian, dan tidak semata-mata menjiplak semua aransemen dari penyanyi aslinya. Sembari pertahankan agenda untuk mengenalkan karya Anda ke khalayak luas.
4. Band kampus rela tidak dibayar
Semua orang butuh uang, terutama yang sudah rela latihan malam-malam setelah kelas atau di sela-sela jadwal kampus yang padat. Bukan karena teman kampus sendiri, dan tampil di acara internal lalu rela dibayar terima kasih dan air mineral. Mulai hitung effort yang kalian keluarkan untuk latihan dan lain-lain, setidaknya pertimbangkan apabila tampil di acara tersebut kalian mendapat exposure dan crowd yang tepat. Jangan semua tawaran main gratis kalian sikat juga, karena toh tidak semua tepat sasaran. Tetap semangat kalian di sana yang masih bergulat dengan tugas kuliah, latihan rutin, dan jadwal manggung!